Menelusuri Situs Purbakala Kota Malang

Minggu pagi ini kami tidak jadi jalan-jalan ke Singosari-Lawang. Semua bangun kesiangan, hehehe… FYI, agak siangan gini jalan raya dari dan menuju Malang sudah mulai macet. Apalagi saya sakit perut sejak kemarin. Akhirnya Plan B dijalankan. Tujuan wisata kali ini menelusuri situs purbakala yang ada di kota Malang. Karena niat mbolangnya tidak terlalu jauh, kami bertiga naik motor.

And, here we go… 😉

Candi Badut

Lokasi candi ini sebetulnya sudah termasuk Kab. Malang, Kec. Dau, Desa Karangwidoro, tapi lebih mudah dijangkau dari arah Kota Malang karena dekat dengan perbatasan Kec. Sukun. Tepatnya di Jl. Candi VD di depan lapangan voli dan sebelah kiri TK Dharma Wanita II Karangbesuki. Kami mencapainya setelah berkendara selama kurang lebih 15 menit.

Daerah ini baru berkembang pada tahun 1980-an. Sebelumnya masih sepi. Sekarang lokasi candi ini nyaris di tengah perkampungan. Sempat nyasar karena papan nama candi yang tidak menghadap tepat ke jalan. Candi ini pun baru dipugar lagi pada tahun 1990-an setelah sebelumnya separuh bangunan sempat direstorasi pada jaman penjajahan Belanda, demikian penjelasan Pak Hari selaku juru pelihara candi yang asli daerah tersebut. Diduga candi ini berhubungan dengan prasasti Dinoyo yang ditemukan di daerah Merjosari. Kalau memang benar demikian, maka inilah candi tertua di Jawa Timur yang diresmikan pada tahun Saka 682/Nayana Vasurasa atau 760 M (tahun 1 Saka terhitung sebagai tahun 78 M). Di dalam prasasti tersebut candi ini dibangun atas perintah Raja Gajayana sebagai raja kerajaan Kanjuruhan yang menjadi cikal bakal sejarah peradaban Malang Raya (Kab. Malang, Kota Malang, Kota Batu). Pada masa itu kerajaan Kanjuruhan yang diperintah oleh Raja Dewasimha dan putranya, Sang Liswa, mencapai masa keemasan. Kedua raja tersebut sangat adil, bijaksana dan dicintai rakyatnya. Bahkan Sang Liswa yang bergelar Gajayana adalah raja yang pandai melucu (mbadhut; badut, bhs. Jawa).  Selain itu, tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasira (28 Nopember) yang tercantum di dalam prasasti tersebut dipakai sebagai tanggal lahir Kabupaten Malang.

Lanskap Candi

Seperti halnya candi-candi lain di Jawa Timur, candi ini juga menghadap ke Barat. Yang membedakan dengan candi-candi yang lebih muda adalah tidak adanya rahang bawah pada pahatan kalamakara di atas pintu dan di atas tiap ceruknya. Bangunannya juga lebih tambun seperti candi-candi di Jawa Tengah. Selain itu arsitekturnya sangat mirip dengan Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran Jawa Tengah. Hal tersebut menunjukkan bahwa candi ini dibangun pada masa-masa awal penyebaran agama Hindu-Syiwa ke Jawa Timur. Sayangnya, bagian atas candi belum dapat dikembalikan ke bentuk asalnya karena ornamen yang sudah lama runtuh dan tertimbun sehingga aus dan membahayakan. Selain itu sebagian batu-batu penyusunnya juga tidak utuh karena sempat diambil oleh penduduk sekitar sebagai bahan bangunan. Seandainya dipaksakan maka sebagian besar akan menjadi tidak asli lagi. Hanya pelipit di sepanjang tepi atas dinding yang masih tersisa. Sedangkan bagian puncak dan ornamennya tersusun rapi di di halaman candi. Kalau ingin membayangkan bagaimana rupa candi ini secara utuh dapat melihat miniatur candi di ruang juru pelihara.

Nyaris tak terlihat :(
Nyaris tak terlihat 😦
Sisi utara Candi Badut
Sisi utara Candi Badut
Bagian puncak candi yang belum terpasang.
Bagian puncak candi yang belum terpasang dan arca lingga-yoni yang diduga sebelumnya berada di dalam candi pewara.
Ornamen candi yang sudah aus sehingga tidak mungkin lagi dipasang.
Ornamen candi yang sudah aus sehingga tidak mungkin lagi dipasang.
Miniatur Candi Badut di ruang juru pelihara.
Miniatur Candi Badut di ruang juru pelihara mengikuti bentuk bangunan Candi Gedong Songo.

Pada saat ditemukan, selain candi utama, di halaman candi terdapat tiga sisa-sisa fondasi candi pewara (candi pengiring) yang berjajar dari utara ke selatan menghadap timur. Candi pewara sebelah kanan dan tengah sudah ditimbun karena sangat sulit diidentifikasi. Sedangkan fondasi candi pewara sisi kiri dibuatkan tepian seperti kolam untuk mempertahankan tanah sekitarnya agar tidak longsor. Diduga dalam candi pewara tersebut diletakkan arca lembu nandi dan arca lingga-yoni yang ditemukan di sekitar reruntuhan. Lembu Nandi adalah binatang tunggangan Syiwa. Keberadaan arca ini menunjukkan bahwa Candi Badut merupakan candi Hindhu-Syiwa Batuan penyusun kedua candi pewara tersebut juga tertumpuk rapi di sudut-sudut halaman. Dari tumpukan batuan ini kami belajar bagaimana mereka menyusun batu sehingga dapat terbentuk candi yang kokoh. Adalah bentuk siku yang saling mengunci sehingga susunan balok batu menjadi rapi seperti lego. Maklumlah, dulu kan belum ada semen.

Fondasi candi pewara sebelah kiri.
Fondasi candi pewara sebelah kiri.
Hiasan kalamakara yang seharusnya terletak  di atas pintu masuk candi pewara.
Hiasan kalamakara tanpa rahang bawah seperti pada candi induk yang seharusnya terletak di atas pintu masuk candi pewara.
Arca lembu Nandi yang sudah tidak utuh lagi.
Arca lembu Nandi yang sudah tidak utuh lagi.
Ornamen ini biasanya terletak di atap candi menghadap ke bawah.
Ornamen ini biasanya terletak di atap candi menghadap ke bawah.
Tumpukan batuan yang belum disusun memiliki bagian siku sebagai pengunci.
Tumpukan batuan yang belum disusun memiliki bagian siku sebagai pengunci.
Batu umpak, lubangnya dibuat sebagai tempat memasang struktur kayu.
Batu umpak, lubangnya dibuat sebagai tempat memasang struktur kayu.

Arsitektur Candi

Dapur atau alas candi setinggi 2 meter tanpa relief. Selasarnya selebar 1 meter mengelilingi candi tidak sesempit Candi Kidal yang pernah kami kunjungi. Pada keempat sisi candi terdapat ceruk tempat meletakkan arca. Tinggal arca Durga Mahisasuramardini pada ceruk sisi utara yang masih ada walaupun tanpa kepala. Kalau kepalanya masih ada, maka dia dapat memandang puncak Gunung Arjuno seperti saya saat ini. Sementara arca Syiwa dan Ganesya yang seharusnya berada di ceruk sisi selatan dan timur sudah tidak ada lagi di tempatnya. Pada dinding tangga terdapat relief burung berkepala manusia dan peniup seruling. Terdapat ukel pada pegangan tangganya menuju bilik penampil atau lorong sepanjang 1,5 m. Di dalam ruangan terdapat arca lingga-yoni sebagai lambang kesuburan dan juga merupakan perwujudan dari penyatuan Syiwa-Parwati. Walaupun keseluruhan candi terbuat dari batu andesit, tetapi khusus yoni selalu dibuat dari batu hitam sehingga lebih tahan dari kerusakan. Di sekeliling ruang terdapat 5 ceruk kecil tempat meletakkan arca dewa. Diduga arca ini terbuat dari emas atau logam mulia lain sehingga hanya dipasang pada saat upacara pemujaan. Kami menemukan banyak coretan bahkan pahatan ‘palsu’ pada dinding candi termasuk tulisan aksara jawa di bagian kanan dan kiri alasnya. Tulisan ini tidak jelas dibuat pada tahun berapa yang jelas bukan dibuat pada masa pembangunan candi yang masih menganut aksara jawa kuno.

Hiasan ukel di pegangan tangga candi.
Hiasan ukel yang umum dijumpai pada pegangan tangga candi.
Arca Durga Mahisasuramandini di dalam ceruk sisi utara.
Arca Durga Mahisasuramardini di dalam ceruk sisi utara.
Arca lingga-yoni di ruang dalam Candi Badut, merupakan representasi Syiwa-Parwati.
Arca lingga-yoni di ruang dalam Candi Badut, yoni terbuat dari batu hitam yang tahan gangguan cuaca.
Ceruk-ceruk kecil untuk arca pada saat pemujaan.
Ceruk-ceruk kecil di dalam ruang candi untuk arca pada saat pemujaan.
Pahatan burung di sisi kanan tangga.
Pahatan burung di sisi kanan tangga.
Relief sisi kiri tangga.
Relief burung di sisi kiri tangga. Perlu mengerahkan imajinasi untuk dapat membaca gambar relief 😀
Warning: Tulisan aksara Jawa ini bukan dibuat pada masa pendirian candi.
Warning: Tulisan aksara Jawa ini tidak dibuat pada masa pendirian candi.

Situs Karang Besuki

Berikutnya perjalanan dilanjutkan ke Candi Karang Besuki. Lokasinya kurang lebih 1 km sebelah utara Candi Badut di kompleks makam setelah belok kiri dari SD Karangbesuki III. Tidak ada papan penunjuk arah apapun menuju situs ini. Warga sekitar pun lebih mengenalnya sebagai Candi Wurung karena hanya tersisa fondasi saja. Saat ditemukan dulu, kaki atau alas candinya masih ada dan disekitarnya ditemukan yoni dan arca Ganesya. Agak jauh dari tempat tersebut juga ditemukan arca Agastya. Dari penemuan arca dan yoni tersebut diduga bangunan candi ini dulu dibangun pada jaman yang sama dengan Candi Badut. Hal tersebut diperkuat dengan salah satu bait pada prasasti Dinoyo yang menyebutkan adanya tempat untuk memuliakan resi Agastya yang berguna sebagai tempat untuk mendapatkan keselamatan. Hal tersebut dihubungkan dengan lokasi ditemukannya candi tersebut di daerah Karangbesuki yang artinya daerah atau tempat keselamatan. Memang menurut kesepakatan di dunia arkeologi candi dinamai berdasarkan nama wilayah atau desa tempat ditemukannya candi tersebut. Walaupun ada candi yang dinamai berdasarkan kisah yang menyertai pembangunan candi tersebut seperti Candi Kidal.

Untuk mencapai situs ini kami harus melewati area pemakaman umum sehingga tidak pantas kiranya kalau kami foto-foto disana (takut ada yang ‘numpang’ foto, hiii…).

DSC_4782
Berada di sudut kompleks pemakaman.
DSC_4783
Fondasi yang tersisa.

DSC_4784

Museum Mpu Purwa, Jl. Soekarno-Hatta 210 Malang (Telp. 0341-404515)

Terletak persis di belakang Rumah Sakit Pendidikan Univ. Brawijaya, seberang Krida Budaya Jl. Soekarno-Hatta, museum ini menyimpan ratusan benda-benda purbakala yang sekarang disebut sebagai benda cagar budaya. Kebanyakan benda ini berasal dari pengumpulan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda. Sebagian lagi berasal dari koleksi pribadi. Biasanya ditemukan oleh penduduk pada saat membuat fondasi bangunan, saluran air, bahkan septi-tank (apapun aktifitas yang bersifat menggali kan). Jadi terbayang di bawah tempat tinggal kita terdapat situs candi atau arca. Koleksinya mulai benda jaman prasejarah (neolitikum-megalitikum) seperti kapak persegi dan kapak genggam hingga menhir (tugu batu). Bicara menhir, jadi ingat menhirnya Obelix ya :D. Kemudian koleksi jaman logam berupa kalung dan cincin perunggu yang menunjukkan bahwa masyarakat Malang pada masa itu sudah mengenal teknologi pengecoran logam. Sedangkan prasasti yang menyebutkan adanya kehidupan bermasyarakat di Malang adalah prasasti Dinoyo 1 (tahun 760 M, merupakan prasasti tertua di Jawa Timur), prasasti Dinoyo 2 (tahun 898 M), prasasti Kanuruhan (tahun 935 M) dan prasasti Muncang/Mpu Sindok (tahun 944 M). Masing-masing prasasti ditulis dengan tingkat kesusasteraan yang tinggi memakai huruf Jawa Kuno yang merupakan perkembangan dari huruf Pallawa (India). Benda-benda cagar budaya ini kemudian diinvetaris ulang dan diberi nomor sesuai dengan sistem penomoran oleh BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan.  Pada saat kami tiba disana, Museum sedang direnovasi sejak April 2014. Sebagian benda cagar budaya yang kami tampilkan disini sementara diletakkan begitu saja di dalam barak tripleks beratapkan asbes di halaman Museum. Alasnya tanah dan lembab yang dapat mempercepat proses pelapukan batu. Mudah-mudahan renovasinya cepat selesai.

Tempat penampungan sementara :(
Tempat penampungan sementara 😦

Berikut beberapa koleksi museum yang sempat kami abadikan:

Budha Aksobhya

Arca Budha Aksobhya dari percandian Singosari ini diduga dibawa ke Malang dan diletakkan di taman Assisten Residen antara tahun 1815 s.d. 1820. Arca ini menggambarkan tokoh Budha dalam pantheon agama Budha Mahayana yang sedang duduk bersila dengan sikap Padmasana. Kepala gundul, daun telinga panjang, serta raut muka menunjukkan seseorang sedang semadi. Pada leher tampak 3 guratan lipatan yang menandakan kebahagiaan. Memakai jubah tipis, sehingga tampak seperti telanjang. Tangan kanan bersikap menyinggung bumi (Bhumisparsamudra), yaitu telapak tangan menelungkup, sementara tangan kiri berada di depan perut. Posisi Budha yang seperti ini disebut sebagai Budha Aksobhya, yaitu Budha penguasa timur.

Budha Aksobhya, sang penguasa timur.
Budha Aksobhya, sang penguasa timur.

Makara

Makara sebenarnya sebutan dari sebuah ornamentasi atau ragam hias Hindu yang menggambarkan hewan ajaib di dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi India disebutkan adanya hewan ajaib yang mempunyai badan seekor ikan dengan kepala seekor gajah. Dalam kesenian Hindu-Jawa dikenal istilah ‘Gajamina’.  Makara yang terdapat di sini adalah makara bekas hiasan dari jorokan pipi tangga masuk sebuah bangunan candi. Ditemukan di daerah Njoyo-Merjosari. Dilihat dari ciri hiasannya yang berupa mulut ikan menganga dengan belalai gajah serta di dalamnya terdapat hiasan seekor singa kecil, dapat diperkirakan bahwa makara ini berasal dari masa abad VIII s.d X M. Penduduk setempat waktu itu menyebut ‘watu ukel’ atau ‘watu jaran kepang manten’.

Sepasang makara, lingga-yoni, dan patung Budha Asobhya di halaman museum.
Sepasang makara, lingga, dan patung Budha Asobhya di halaman museum.

Prasasti Dinoyo 2

Batu prasasti ini ditemukan di sekitar pertigaan Jl. MT. Haryono dengan Jl Gajayana kelurahan Dinoyo Malang pada tahun 1985. Prasasti menggunakan bahasa Jawa kuno dan berhuruf Jawa kuno pula. Disebut sebagai prasasti Dinoyo 2 karena di Dinoyo pernah ditemukan prasasti yang disebut prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M. Prasasti Dinoyo 2 ini memuat dua penanggalan. Penanggalan pertama memuat angka tahun 773 saka bulan Magha hari Wrehaspati Was Umanis tanggal 8 paro terang (tanggal 15 Januari 851 M). Penanggalan kedua memuat angka tahun 820 saka bulan Srawana hari Aditya Mawulu Umanis tanggal 8 paro gelap (tanggal 2 Juli 898 M). Isi yang dapat dipetik dari batu prasasti yang sebagian besar hurufnya aus tersebut adalah: bahwa pada tahun penanggalan yang pertama disebutkan bahwa Dang Hwan sang Hiwil dari Hujung menetapkan status tanah sawah untuk dijadikan sima bagi kelangsungan biara pertapaan yang dipimpin oleh Dang Hyang guru Candik. Penetapan tanah sawah tersebut disaksikan oleh beberapa pejabat. Tetapi dalam perjalanannya tanah sawah tersebut pada akhirnya oleh para tetua desa dijual kepada para tetua desa Kandal. Sehingga akhirnya pada penanggalan yang kedua ( 47 tahun kemudian) disebutkan bahwa tanah sawah tersebut ditebus kembali oleh Dang Hwan dari Hujung yang namanya tidak diketahui karena aus, untuk diberikan dan ditetapkan lagi sebagai tanah sawah wakaf untuk biara pertapaan, dengan disaksikan oleh beberapa pejabat dan saksi lainnya.

Prasasti Dinoyo 2.
Prasasti Dinoyo 2.

Prasasti Muncang

Prasasti ini ditemukan di desa Blandit-Wonorejo, Singosari. Isi dari prasasti Muncang bahwa pada tahun 866 saka bulan Caitra tanggal 6 suklapaksa (paroterang) hari ‘tunglai-pahing-anggara’ wuku Shinta, yang bertepatan dengan tanggal 3 Maret 944M.  Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isana Wikramadharmottunggadewa memerintahkan melalui Rakai Kanuruhan untuk menetapkan sebidang tanah di desa Muncang yang masuk wilayah Hujung. Maksud dari penetapan sebidang tanah tersebut guna kelangsungan bangunan suci (tempat pemujaan) yang bernama ‘Siddhayoga’, yaitu sebuah tempat ketika para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap harinya, serta mempersembahkan kurban bunga kepada bhatara Sang Hyang Swayambuha di Walandit.

Prasasti Muncang.
Prasasti Muncang.

Batu gores

Batu gores merupakan salah satu produk dari masyarakat masa megalithik. Fungsi batu gores berhubungan dengan sistem upacara pertanian atau pula sebagai sarana upacara pengasahan senjata tajam.  Batu ini ditemukan di Jl. Kanjuruhan Tlogomas, Kel. Lowokwaru..

Batu gores.
Batu gores.

Lebih lengkap tentang koleksi Museum Mpu Purwa dapat dilihat di situs resminya.  Dan inilah dia jalur perjalanan kami kemarin 🙂

Tidak usah jaun-jauh untuk belajar dan bersenang-senang ;)
Tidak usah jaun-jauh untuk belajar dan bersenang-senang 😉
Sampai jumpa di candi yang berikutnya ;)
Sampai jumpa di candi berikutnya 😉

Published by

Safrina Dewi

Sebutir pasir dalam lautanNya, yang berusaha memaknai hari untuk mencapai ridhoNya...

Leave a comment