Eating, tracking, and photographing: Part 3

Waroeng Kopi Borobudur, Rumah Kamera, dan Candi Borobudur

Dawet Ayu Banjarnegara bertemu Ikan Beong Sungai Progo di Waroeng Kopi Borobudur

Setelah puas berfoto dan makan minum sekedarnya, kami meninggalkan Desa Giritengah menuju Waroeng Kopi Borobudur.  Sesuai urutannya, setelah trekking, foto-foto tentunya dilanjutkan makan alias eating.  Tiba warung tepat waktu makan siang pukul 12.20.  Sebelum makan kami disuguhi dawet ayu banjarnegara yang diminta khusus untuk stand by disana menunggu kami.  Dawetnya boleh pilih rasa durian atau nangka.

Menu makan siang kali ini masih dengan kekhasan Magelang yaitu mangut ikan beong.  Ikan asli sungai Progo yang membelah Kabupaten Magelang ini rasanya mirip lele tapi dagingnya lebih tebal dan tidak menyisakan aroma lumpur seperti lele.  Sayur lain yang disajikan adalah tumis daun papaya, tumis batang talas, lodeh, tempe goreng, dll.  Minumnya air kendi yang menyegarkan.  Betul-betul menyatu dengan alam. #silahkangiler
Warung Kopi Borobudur, Ishoma. Ikan beongnya muanteep :)
Warung Kopi Borobudur, Ishoma. Ikan beongnya muanteep 🙂
Semua selera ada disini, yummyyyy.... hehehe
Semua selera ada disini, yummyyyy…
Mas Dawet Banjarnegara yang khusus diboyong dari tempat mangkalnya.
Mas Dawet Banjarnegara yang khusus diboyong dari tempat mangkalnya.
Yang ini suguhan buat telinga, alunan tembang dan gamelan bikin tambah lapar, eh, ngantuk :))
Yang ini suguhan buat telinga, alunan tembang dan gamelan bikin tambah lapar, eh, ngantuk 🙂
Suasana asri Warung Kopi Borobudur
Suasana asri Warung Kopi Borobudur

Kami makan di teras terbuka dengan iringan gending jawa dan nyanyian mbak sinden yang sesekali terputus karena si mbak sedang telponan.  That’s true 😀

Sementara itu semakin siang di halaman warung sedang parkir beberapa dokar yang mampir mengantar wisatawan tilik deso makan siang setelah mengitari desa-desa di Kecamatan Borobudur.  Setelah istirahat makan dan sholat, perjalanan dilanjutkan ke Rumah Kamera di Jalan Majaksingi.

Bermain-main dengan efek kamera

Tidak jauh dari Waroeng Kopi terdapat Rumah Kamera.  Tiba di sana kurang lebih pukul 13.30.  Kompleks rumah kamera terdiri dari dua bangunan utama.  Pertama adalah bangunan berbentuk kamera DSLR dan disebelahnya bangunan dengan banyak spot berfoto, surganya para selfier.  Karena waktunya sudah mepet, hanya bangunan kedua yang kami kunjungi.  Itupun tidak semua spot sempat kami kunjungi.  Sayang yaa.  Pada kesempatan lain sepertinya tempat ini bakal jadi tujuan wisata yang must be visited deh.

The real 'rumah kamera'
The real ‘rumah kamera’
Trapped !!!
Trapped !!!
"Ampuuuun...!"
“Ampuuuun…!”
Giant and liliput :)
Giant and liliput 🙂
Ikonik :D
Ikonik 😀 (don’t take it seriously)

Ada Manohara di Borobudur

Kunjungan berikutnya ke Candi Borobudur bisa juga disebut wisata edukasi karena ditemani pak Fatah, staf kecamatan Borobudur yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata.  Jadi bisa puas tanya-tanya tentang candi, kuil atau monumen Budha terbesar di dunia ini.  Pada setiap lantai candi beliau memilih tempat yang strategis di sekitar relief yang akan beliau jelaskan.  Sebelumnya beliau juga menjelaskan secara umum gambaran bangunan candi melalui miniatur candi yang ada di lobby hotel Manohara.

Relief-relief yang dipahat dan dipasang untuk Borobudur merupakan masterpiece, artinya selain hanya ada satu, tidak boleh ada sedikit pun kesalahan pada saat pembuatan relief.  Kalau terjadi kekeliruan karena salah ukuran atau salah desain maka pahatan tersebut akan dihancurkan dan dibuat lagi yang baru.  So perfect.
Serius bersama pemandu wisata kami.
Serius bersama pemandu wisata kami.
Jangan serius2 laaah... gak pakai ujian kok. Hihi..
Jangan serius2 laaah… gak pakai ujian kok. Hihi..

Bangunan warisan budaya ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar.  Dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.  Secara keseluruhan, bangunan candi ini seperti buku terbuka yang membawa pesan perjalanan manusia dari jiwa terendah yang diliputi nafsu duniawi (Kamadhatu), kemudian ranah wujud (Rupadhatu), hingga ke puncaknya berupa ranah tanpa wujud (Arupadhatu) dimana manusia melepaskan dirinya dari keinginan terhadap dunia.  Untuk bisa memahami setiap cerita dan pesan tersebut perjalanan mengitari candi ini pada setiap tingkatnya diawali dari sisi timur melingkari bangunan searah jarum jam dan diakhiri pada sisi kanan pintu masuknya.  Gambaran tentang relief candi Borobudur dapat diintip disini.

The world heritage, Borobudur temple.
The world heritage, Borobudur temple.

Bagian menarik yang jarang diceritakan terkait Borobudur adalah kisah Manohara.  Manohara yang kita tahu — tepatnya yang saya tahu — selama ini ya Manohara Odelia Pinot, artis Indonesia.  Kalau ini kisah Sudhana dan Manohara pada salah satu deretan relief candi Borobudur. 

Manohara adalah putri bungsu Druna, Raja Kinnara di Negara Pancala yang subur makmur dan tentram kehidupannya. Manohara berbentuk setengah manusia separuh burung dan mempunyai kekuatan untuk merubah dirinya menjadi perempuan cantik dengan suara indah.  Yang menikah dengan pangeran Sudhana, putra Raja kerajaan Selatan yang bengis dan kejam terhadap rakyatnya.  Kisah cinta mereka berakhir dengan bersatunya kerajaan Utara dan Selatan yang sebelumnya bermusuhan setelah direbutnya tahta kerajaan Selatan oleh pangeran Sudhana dari ayahandanya.  

Singkatnya seperti itu, versi panjangnya bisa dilihat disini.  Nama Manohara sendiri saat ini diabadikan untuk pusat studi Borobudur.  Di kawasan tersebut juga berdiri hotel dengan nama yang sama, Hotel Manohara.

Relief Manohara saat terbang melarikan diri pulang ke kerajaan ayahandanya di Utara Negara Pancala.
Relief Manohara saat terbang melarikan diri pulang ke kerajaan ayahandanya di Utara Negara Pancala.
Manohara, center of Borobudur study.
Manohara, center of Borobudur study.
Wisata Andong Tilik Deso, unggulan taman wisata Borobudur.
Wisata Andong Tilik Deso, unggulan taman wisata Borobudur.
Ngandong menuju candi Mendut.
Ngandong menuju candi Mendut.
Mengabadikan momen :)#modus
Numpang ngetop, hihi.

Kesorean di Ketep Pass

Waktu sudah sangat sore saat kami meninggalkan kawasan candi dengan naik andong menuju candi Mendut.  Setelah sholat Ashar di mushola terdekat dan belanja oleh-oleh kain dari penjaja yang banyak terdapat di halaman candi Mendut, kami berangkat menuju Ketep Pass.

Gerimis yang menjadi hujan deras menjadi teman sepanjang perjalanan menuju lereng Merapi itu.  Untungnya saat di atas hujan sudah reda walaupun kabut menghalangi pemandangan pegunungan.  Seandainya kami datang lebih awal, pihak pengelola tempat wisata Ketep Pass sebetulnya akan menyambut kami dengan menyajikan film berupa sejarah dari Gunung Merapi yang meliputi peristiwa terbentuknya Gunung Merapi, jalur-jalur pendakian,penelitian di puncak Garuda, letusan dahsyat Gunung Merapi, dan berbagai peristiwa yang terjadi dalam rentetan waktu tertentu. Durasi dari film ini cukup pendek, hanya sekitar 25 menit.  Di lokasi wisata tersebut juga terdapat museum vulkanologi yang didalamnya terdapat miniatur gunung Merapi.

Yah, terpaksa gigit jari, eh gigit jagung bakar karena sudah pada tutup saking padatnya jadwal acara.  Semoga kapan-kapan bisa seharian di Ketep Pass.

img_20160903_173610
Njagung mbakar di jalanan Ketep Pass.

Akhir kata, itulah rangkaian acara BoSoLo le Tour and Heritage Borobudur 2016 yang bisa saya sajikan di tulisan Bagian 1,Bagian 2, dan yang ketiga ini.  Pelajaran yang bisa saya dapatkan diantaranya adalah candi Borobudur itu bukan terletak di Yogyakarta, melainkan di Kabupaten Magelang :)).  Tapi saya yakin tidak sendirian telah mengira demikian.

Selain itu di Magelang ternyata banyak sekali tempat wisata menarik yang potensial untuk dikembangkan baik wisata alam, kuliner, sejarah, edukasi, dan hiburan.  “Bravo Magelang, semoga semakin makmur dan maju”.

Viva BoSoLo :)
Viva BoSoLo 🙂

 

 

Eating, tracking, and photographing: Part 2

Kantor Kecamatan Borobudur, Galeri UNESCO, Punthuk Mongkrong

Fun Bike, Kantor Kecamatan Borobudur – Galeri UNESCO

Tiba di halaman Kantor Kecamatan Borobudur menjelang pukul delapan.  Saat staf kecamatan mempersiapkan apel pagi.  Bedanya kali ini apel pagi diwarnai kunjungan rekan-rekan BoSoLo.  Saat kami sidak ke ruang Pak Camat  ternyata ruangnya kosong, serta merta rekan-rekan memanfaatkan meja camat untuk berfoto ria (aduh, ini sih kebiasaan yang agak memalukan).

Saat kami ramai bercanda di sana tiba-tiba camatnya datang dan malah mempersilahkan melanjutkan foto-foto.  Ya iyalah, camatnya kan bagian dari BoSoLo :D.  Pemandangan lain yang berbeda adalah barisan sepeda onthel di halaman kantor.  Rupanya setelah jamuan sarapan di kantor, kami akan menuju Galeri UNESCO di desa Karanganyar dengan bersepeda.

Barisan sepeda onthel sudah siap.
Barisan sepeda onthel sudah siap.
Bikin KTP dulu #eh
Bikin KTP dulu #eh
Obsesi? :D
Pendudukan ruang kepala kantor 😀

Sarapan kali ini tidak kalah istimewa.  Makanan pembuka berupa gebleg dan bajingan lumayan menjadi pengganti kalori yang terbakar saat naik ke bukit Rhema tadi.

Bajingan adalah singkong rebus yang disiram gula nira.  Singkongnya yang empuk berpadu dengan rasa legit manis.  Sedangkan gebleg adalah gorengan yang terbuat dari sari pati singkong.  Teksturnya kenyal, rasanya gurih, dan cocok dimakan saat masih panas, apalagi dicelupin bumbu rujak manis, hmm.

Belum lagi sajian utama berupa gudeg komplit buatan bu Yani, salah seorang staf kecamatan yang benar-benar memanjakan lidah kami.  Disini bergabung seorang teman dari Malang yang mengajak serta keluarganya.

Kunjungan kerja, nampang dulu di depan kantor :D
Kunjungan kerja, nampang dulu di depan kantor Kecamatan Borobudur 😀
Udah geblek, bajingan pula :D
Udah geblek, bajingan pula. Dua makanan khas dari bahan dasar singkong bersanding 😀
Gudeg komplit ala bu Yani #yummy
Gudeg komplit ala bu Yani #yummy

Setelah kenyang sarapan kami menuju halaman kantor dan mencoba sepeda onthel, berputar-putar dan berfoto sebentar serta berpamitan dengan para staf kecamatan.  Akhirnya pukul 08.40 kami beriringan menuju desa Karanganyar.

Setelah melewati jalan desa yang lebih banyak tanjakannya daripada turunannya di tengah perjalanan kami tiba di hotel Plataran Borobodur Resort.  Bukan untuk masuk sih, tapi numpang foto-foto sebentar di halamannya sambil menunggu kawan-kawan yang tertinggal di belakang untuk kemudian melanjutkan perjalanan.  Sepeda onthelnya sip, mantap, dan kuat diajak nanjak walaupun dua orang teman sempat jatuh karena sudah lama tidak bersepeda.  Seorang teman malah mengaku terakhir naik sepeda saat SMA, nah lo.  Jangan-jangan tuan rumah lupa kalau kami sudah umur empat puluhan, hehe.

Baris dulu sebelum pemberangkatan.
Baris dulu sebelum pemberangkatan.
Ngepost sebentar di halaman Plataran Borobudur resort.
Ngepost sebentar di halaman Plataran Borobudur resort.
Tidak lupa poto-poto yaa...
Jangan lupa poto-poto yaa… 😀

Akhirnya setelah bersepeda kurang lebih 5km, pada pukul 09.40 kami tiba di Galeri UNESCO.  Dari teras galeri kami bisa melihat puncak Borobudur dari kejauhan.   Angin semilir dan aroma pesawahan yang sejuk menimbulkan kantuk setelah lelah bersepeda.  Sebelum ketiduran kami disuguhi lumpia buatan tuan rumah dengan racikan resep asli khas lumpia Semarang.  Rebung dan ikan pihinya khusus dibeli di pasar pecinan Semarang.

Welcome to Galeri UNESCO
Welcome to Galeri UNESCO
IMG_20160903_100126
Galeri Komunitas UNESCO
Ngisis dulu di teras galeri.
Ngisis dulu di teras galeri.

 

Galeri UNESCO ini dibangun untuk memfasilitasi dan mengembangkan potensi desa-desa di sekitar candi Borobudur.  Salah satu programnya adalah mengenalkan wisatawan pada keindahan alam serta beragam potensi indutri kreatif di desa-desa sekitar Candi Borobudur.  Wisatawan yang mengikuti program ini akan diajak berkunjung ke lokasi-lokasi industri rumah tangga, yang khusus mendapat pendampingan dari UNESCO.

Di galeri ini juga terdapat bangunan untuk pelatihan pembuatan selai buah dan keramik glasir.  Sayangnya pada saat kami datang sedang tidak ada kegiatan pelatihan disana.

Galeri Keramik
Galeri Keramik
img-20160919-wa0049-1
Narsis bareng dulu sebelum pamit 😀

Di Ketinggian Punthuk Mongkrong

Perjalanan selanjutnya ditempuh dengan mengendarai mobil.  Dengan menumpang empat kendaraan kami menuju desa Giritengah tempat punthuk mongkrong berada.  Jalanan yang selalu menanjak memaksa gear kendaraan selalu berada di posisi satu.  Selain tanjakan, kondisi jalan juga sangat sempit walaupun sudah dibeton.  Rasanya tidak mungkin cukup berpapasan dengan kendaraan lain sehingga perlu pengaturan kendaraan naik dan turun.  Saya yang duduk di bangku kiri jadi sport jantung karena sisi kiri menganga jurang lebar.  “Huhuhu… rujak cingur masih enak…”.

Setelah kurang lebih 40 menit menyisiri pebukitan curam yang penuh kelokan tajam dan nyaris kehabisan bensin di tengah jalan, kami tiba di tujuan dengan disambut remaja karang taruna pengelola kawasan wisata tersebut.  Jangan senang dulu, kurang afdhol rasanya mencapai keberhasilan tanpa perjuangan.

Setiba disana kami masih harus berjalan kaki dengan (pasti) menanjak selama kurang lebih 15 menit.  Sepanjang jalan kami berjumpa dengan aroma bunga cengkeh yang sedang dijemur dan keramahtamahan penduduk desa.  Sampai di puncak ternyata kedatangan rombongan disambut tari-tarian dan gamelan.  Sambutan yang luar biasa ya, bayangkan bagaimana mereka bersusah payah membawa seperangkat gamelan ke puncak.  Selain itu kami juga disuguhi panganan berupa tetel, tempe bacem, tempe koro yang manis dan ubi goreng.

IMG_20160903_104444
Kawasan wisata alam dan sunrise Punthuk Mongkrong
IMG_20160903_104455
Hayoo, ada yang paham maksud papan peringatan ini ndak? 😀
IMG_20160903_104906
Menjemur cengkeh.
IMG_20160903_105810
Betul sekali ini, susah payah mendaki jangan sampai gagal selfie karena momennya tidak terulang lagi 🙂
IMG_20160903_105923
Adik-adik penari yang siap menghibur kami.

Saat ini Punthuk Mongkrong merupakan puncak paling tinggi diantara wisata perbukitan di sekitar Borobudur.  Areanya sempit dan langsung dikelilingi jurang.  Dari ketinggiannya kami bisa melihat Candi Borobudur yang lebih mirip susunan lego berwarna hitam.  Dari sana kami juga bisa melihat Punthuk Sukomojoyo dibawahnya yang ditandai dengan kibaran bendera merah putih.

Tempat berfoto yang ikonik disini adalah rumah pohon dan jembatan bambu di tebing jurang dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Merapi jika cuaca bagus.  Jembatan segitiga yang dibangun di tebing tersebut maksimal hanya dapat menahan beban dua orang dewasa.  Pemandangannya sangat cocok untuk berfoto pada saat matahari terbit dan tenggelam.  Pengelola juga menyediakan papan bertuliskan Mongkrong yang bisa dibawa berfoto.  Selain itu di sekitar lokasi juga terdapat sebuah situs pangruwatan diyu berupa empat batu persegi yang disusun ke atas.

IMG_20160903_110905
Di ketinggian.
IMG_20160903_111731
Situs pangruwatan diyu.
IMG_20160903_112615
Bacem, tetel, gorengan, dan keramahan penduduk desa.
IMG_20160903_112131
Turunan tajam saat berjalan pulang.
IMG_20160903_111804
Pamitan sama mas karang taruna, sambutannya luar biasa 🙂
Menurut penjelasan salah satu anggota karangtaruna, wisata Punthuk Mongkrong ini baru setahun dikelola.  Tanggal 13-14 September nanti adalah peringatan setahun dibukanya wisata ini dan akan diadakan Mongkrong Night Festival yang akan diramaikan dengan pentas seni tari tradisional, pentas music, doa bersama, dan pelepasan seribu lampion.  Doakan semoga sukses acaranya dan Punthuk Mongkrong makin dikenal masyarakat.
IMG_20160903_104746
Semoga sukses acara Night Festival di ulang tahunnya 13 -14 September mendatang 🙂
IMG-20160903-WA0021
Beramai-ramai 🙂

Perjalanan selanjutnya bisa disimak disini 🙂

Eating, trekking, and photographing: Part 1

Naik Kereta Api, Tut Tut Tuuuut…

Lama nian tidak tripping yang agak jauhan dari rumah (tripping maksudnya jalan-jalan gituh). Beruntung, kesempatan yang tidak dapat ditolak ini datang untuk memenuhi undangan seorang teman SMA yang tinggal di Magelang. Sekalian pemanasan untuk reuni perak tahun depan, maka terkumpullah kami sekitar bertiga puluh di Magelang pada tanggal 3 September lalu.

Kunjungan ini mengusung judul: BoSoLo le Tour and Heritage Borobudur 2016
(BoSoLo, Bolo Songo Loro, karena kami dari angkatan 92 SMAN 1 Pasuruan).

Peserta pun berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia mulai dari Jember yang paling timur hingga Bengkulu (kalau yang ini sih pas kebetulan lagi ada jadwal kunjungan ke Jawa, hehe). Saya sendiri ikut rombongan yang berangkat naik Sri Tanjung dari stasiun Pasuruan. Kami bertiga belas, 9 perempuan dan 4 laki-laki. Setelah sebelumnya 3 orang teman terpaksa membatalkan keberangkatan karena ada tugas dari kantor menjelang detik-detik keberangkatan. Alhasil gerbong 2 jadi dipenuhi cerita dan tawa 2 sejak berangkat pukul 12.00 sampai tiba di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pukul 20.00. Untung saja tidak ada penumpang yang complaint karena tidak bisa bobok siang di kereta. Boboknya di tempat tujuan saja ya pak, bu, mbak, mas, hehe.

Logistik selama di atas kereta tidak hentinya terhidang. Mulai mie pangsit, brownis, lemper, edamame, sampai nasi krawu. Tak ayal lagi, mulut kami akhirnya selalu aktif makan atau bicara. Kebetulan seorang teman duduk sebelahan dengan bule perancis. Rejeki si Bule yang selalu kebagian ransum dari kami. Bonjour Mister… (mbuh artine opo, hehe).

IMG-20160902-WA0004
Stasiun Pasuruan, kontingen siap diberangkatkan.
Gaya dulu a la WestLife :D
Gaya dulu a la WestLife 😀
IMG_20160902_171022
Hiruk pikuk di dalam kereta 😀

Tiba di stasiun Lempunyangan sudah menunggu 2 teman lagi, seorang dari Bogor dan seorang dari Bengkulu bersama istrinya. Gayeng ngobrol sambil nunggu jemputan yang agak terlambat karena kendala teknis. Akhirnya pukul 21.00, beriringan 5 kendaraan bergerak menuju malioboro, makan malam lesehan di angkringan tidak boleh dilewatkan kalau ingin menikmati suasana malam Yogyakarta. Tetapi sebaiknya tidak mengajak anak dibawah umur, karena kami sempat disambangi pengamen waria dengan dandanan vulgar yang akhirnya jadi bahan guyonan sepanjang perjalanan ke Magelang. Mirip mpok Ati kata teman-teman. Maaf ya mpok…

Di angkringan Gareng Petruk saya memilih nasi langgi berupa nasi dengan rajangan telur dadar dan sambel, otak-otak ikan, dan sate bekicot. Minumnya wedang ronde yang diwarnai insiden terbawanya sendok wedang saat pelayan angkringan beres-beres piring. Maaf ya pak Ronde… Di angkringan ini tahu bakso oleh-oleh teman dari Ungaran ikut jadi suguhan yang cukup mengenyangkan.

Angkringan Gareng Petruk, Malioboro
Angkringan Gareng Petruk, Malioboro
Bersih dan lengkap :)
Bersih dan lengkap 🙂

Pukul 23.15 rombongan memasuki kota Magelang. Tuan rumah tidak mensia-siakan waktu untuk memperkenalkan kuliner malam Magelang kepada kami. Walaupun perut sudah kenyang dan mata mulai lengket serta tubuh merindukan kasur, diajaklah kami mampir ke warung Bulpiri yang menjual nasi godog.  Akhirnya kami memesan dua porsi nasi godog dan satu porsi bakmi godog untuk dimakan bersama-sama, tepatnya dicicipi bersama.

Nasi godog ini dimasak diatas anglo dan dibuat dari bumbu bawang putih, bawang merah, merica dan garam yang ditumis kemudian diberi air secukupnya. Setelah mendidih dimasukkan telur, sedikit mie, sayuran, dan tomat. Mengingatkan kami pada bakmi godog Kediri. Setelah tercampur semua baru nasi dimasukkan. Kemudian dibubuhkan sedikit kecap dan siap dihidangkan panas-panas. Sederhana tapi nikmat mengenyangkan.
IMG_20160902_232236
Warung Bulpiri Magelang
Pembuatan nasi godog di atas anglo.
Pembuatan nasi godog di atas anglo.
Hmm...enak dimakan pas masih anget-anget panas #nasigodog
Hmm…enak dimakan pas masih anget-anget panas #nasigodog

Perjalanan dilanjutkan ke pesanggrahan Majaksingi milik Pemkab Magelang. Tiba disana sekitar pukul 00.00 disambut seorang teman yang tiba dari Pati sejak pukul 22.00. Dua jam horor kata dia, sampai nyaris mengangkat tangan menyatakan tidak sanggup melanjutkan permainan (emangnya uji nyali, hehe). Di pesanggrahan peserta perempuan berbagi 3 kamar vip di bangunan utama. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dalam. Sementara peserta laki-laki sebagian memilih tidur di ruang tamu yang luas dan sebagian di kamar-kamar yang berada di belakang bangunan utama. Tempatnya luas dan nyaman.

Sedikit di luar ekspektasi saya yang mengira Magelang itu dingin seperti Malang, hehe. Tanpa menunggu lebih lama lagi, setelah mandi dan melanjutkan bersetori ria dengan teman sekamar, sekitar pukul 01.00 saya pun tertidur. Sepertinya menjelang pukul 03.00 kamar-kamar sudah senyap. Kami beristirahat, bersiap untuk acara yang (luar biasa) padat pada pagi harinya.

Punthuk Setumbu, Rumah Pohon Asem Pendowo Limo, dan Gereja Ayam

Bentang alam Punthuk Setumbu

Sedikit terlambat dari waktu yang direncanakan, dengan dipandu pak Fatah, salah seorang staf Kantor Kecamatan Borobudur, pukul 5.30 kami bergerak menujuk punthuk setumbu. Tiba disana parkiran sudah penuh. Karena ada unsur-unsur privilege, rombongan kami yang terdiri dari empat mobil berhasil mendapatkan tempat parkir yang layak. Kirain ya, namanya sunrise sudah di depan mata. Ternyata harus berjalan menanjak kurang lebih 15 menit (oh kaki…).

Di salah satu pos kami disambut Pak Lurah Karangrejo yang kemudian bersama-sama kami naik melihat sunrise. Sepanjang jalan kami berpapasan dengan beberapa rombongan yang berjalan turun. Dalam hati ya, mereka ini kelihatannya tidur di puncak setumbu deh. Atau kaminya saja yang kurang pagi kali ya, hehe. Tiba di puncak pukul 06.00, walaupun sedikit melewatkan detik-detik munculnya sang surya, tapi semua lelah akhirnya terbayar oleh keindahan alam yang terbentang di depan mata. Sayangnya cuaca kurang cerah, sehingga puncak candi Borobudur tersaput kabut.

Puas memanjakan mata dan (pastinya) foto-foto, Pak Lurah Karangrejo mengajak kami menikmati kopi dan teh jahe panas serta makanan kue-kue berupa lemet, lapis, tahu isi, keripik slondok berbahan dasar singkong yang rasanya seperti samiler di Jawa Timur tapi yang ini diiris tipis dan sangat crunchy, dan geblek. Yang terakhir ini penganan berbahan dasar pati singkong yang rasanya kenyal dan biasanya dimakan dengan cocolan saus kacang atau saus empek-empek.

Parkiran Punthuk Setumbu yang penuh sesak, maklum hari Sabtu.
Parkiran Punthuk Setumbu yang penuh sesak, maklum hari Sabtu.
Hap.. hap.. jalan pagi.. ini foto pas jalannya masih datar 😀
Bermandikan cahaya matahari pagi
Bermandikan cahaya matahari pagi
Camilan sudah siaaap :P
Camilan sudah siaaap 😛
Nyam nyam nyam... :P
Nyam nyam nyam… 😛
Punthuk Setumbu, keindahan tak terlupakan.
Punthuk Setumbu, keindahan tak terlupakan.
Pamitan dulu sama pak Lurah Karangrejo, maturnuwun pak :)
Pamitan dulu sama pak Lurah Karangrejo, maturnuwun pak 🙂
Punthuk Setumbu adalah sebuah bukit diantara pebukitan Menoreh dengan ketinggian kurang lebih 400 dpl. Namanya berasal dari kata punthuk yaitu gundukan tanah dan tumbu atau alat dapur dari bambu. Berupa pelataran luas yang dibatasi pagar dan tersedia kursi-kursi tempat beristirahat, tempat ini merupakan lokasi favorit untuk melihat candi Borobudur dari ketinggian dengan latar belakang gunung Merapi dan Merbabu. Retribusi masuknya cukup Rp.15.000 saja untuk wisatawan lokal.
Sang surya naik perlahan membuka tabir malam...
Sang surya naik perlahan membuka tabir malam…
Berkas sinar...
Berkas sinar…
Jajaran pebukitan Menoreh
Jajaran pebukitan Menoreh

Rumah Pohon Pendowo Limo

Kenyang ngemil, trek berlanjut ke Rumah Pohon Pendowo Limo yang berjarak kurang lebih seratus meter jalan kaki dari pelataran punthuk Setumbu. Belum jelas bagaimana asalnya ada lima pohon asem berumur puluhan tahun yang berumur sama berdiri tegak berjajar di sana, demikian tutur pak Fatah. Diatas pohon-pohon ini kemudian dibangun dua pos pandang yang kemudian disebut rumah pohon.

Setelah puas berfoto pukul 06.50 kami menuju ke Gereja Ayam melalui jalan belakang yang lebih singkat tapi hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Yang jelas pakai bonus tanjakan ya, hehe.

Rumah Pohon Pandowo Limo
Rumah Pohon Pandowo Limo
Dari ketinggian rumah pohon.
Dari ketinggian rumah pohon.

img-20160919-wa0050

Gereja Ayam, napak tilas Rangga dan Cinta

Setelah berjalan kaki kurang lebih 10 menit, nampaklah sisi belakang bangunan Gereja Ayam yang sedang diperluas. Gereja yang sebetulnya dibangun sebagai rumah doa ini kemudian dialih fungsikan sebagai tempat rehabilitasi mental sebelum selesai pembangunannya seiring dengan keberatan dari penduduk sekitar yang mayoritas beragama Islam. Gereja ini terletak di atas Bukit Rhema.

Disana kami disambut oleh Pak Daniel yaitu anak pemilik bangunan dan Pak Kepala Dusun Gombong Desa Kembanglimus yang mirip Budi Anduk (alm). Sedikit tambahan, bangunan ini sebetulnya dibangun berbentuk merpati mahkota yang membawa pesan kebebasan dan perdamaian. Tetapi bangunan yang pernah dipakai untuk syuting film AADC2 ini lebih popular dengan sebutan Gereja Ayam seperti sebutan penduduk sekitar.

Tanjakan menuju Gereja Ayam #hoshosh
Tanjakan menuju Gereja Ayam #hoshosh
Pak Fatah beraksi dengan penjelasannya tentang riwayat Gereja Ayam
Pak Fatah beraksi dengan penjelasannya tentang riwayat Gereja Ayam
Papan arah lewat jalan belakang
Papan arah lewat jalan belakang
Informasi tiket masuk Gereja Ayam
Informasi tiket masuk Gereja Ayam
Gereja terdiri dari empat tingkat. Tingkat pertama berupa ruangan luas yang saat itu difungsikan sebagai ruang tunggu untuk naik ke bagian mahkota ayam. Lagi-lagi kami mendapat privilege dan tidak perlu ikut mengantri untuk naik sampai ke tingkat tertinggi. Di sekeliling ruangan terdapat jendela-jendela berbentuk bunga dan di bagian ekor dibangun pilar-pilar. Tingkat kedua berupa bagian leher. Dari sini kita bisa mengintip keluar jendela jajaran genjang dan melihat bagian ekor yang menyerupai kipas.  Tingkat ketiga adalah paruh dan kepala ayam. Pada bagian depannya yang terbuka dipasang pagar pembatas dengan peringatan agar tidak naik ke atas pagar. Tingkat keempat mahkota ayam. Tingkat terakhir ini dapat dicapai melalui tangga putar sempit dan lubang sempit seukuran orang dewasa. Hati-hati jangan sampai kepala terantuk atau ada bagian badan yang tersangkut disini. Tiba di teras mahkota ayam kita bisa melihat pemandangan yang luar biasa indahnya ke segala penjuru. Di dalam foto, sudut-sudut mahkota ini tampak seperti ekor atau sayap pesawat. Sayangnya kami tidak sempat mengintip ruang basement yang bersekat-sekat.
Bangunan tampak belakang
Bangunan tampak belakang
Ruang utama di lantai dasar.
Ruang utama di lantai dasar.
Pemandangan dari leher ayam.
Pemandangan dari leher ayam.
Pemandangan dari bagian paruh.
Pemandangan dari bagian paruh.
Tangga naik menuju puncak mahkota.
Tangga naik menuju puncak mahkota.
Di puncak mahkota.
Di puncak mahkota.
Tongsis mana tongsiiis... :D
Tongsis mana tongsiiis… 😀
Puncak mahkota, good view :)
Puncak mahkota, good view 🙂
Napak tilas Cinta dan Rangga :)
Napak tilas Cinta dan Rangga 🙂
Gaya dulu aah... :D
Gaya dulu aah… 😀
Umur Gereja Ayam saat ini. Kok sama dengan umur BoSoLo ya... #jodoh
Umur Gereja Ayam saat ini. Kok sama dengan umur BoSoLo ya… #jodoh

Dari Gereja Ayam kami diantar ke tempat parkir menggunakan beberapa jeep. Walaupun jalannya sudah dibeton, tapi sudut turunannya yang mencapai 45 derajat bikin lutut gemeteran juga. Di halaman parkir kami berpamitan dengan pemilik bangunan dan Pak Kepala Dusun untuk kemudian tepat pukul 07.45 melanjutkan perjalanan ke Kantor Kecamatan Borobudur.

Menuju parkiran bukit Rhema.
Menuju parkiran bukit Rhema.
Pamitan sama putra pendiri gereja. Lupa gak tanya nama :D
Pamitan sama Pak Daniel, putra pendiri gereja.
Bersama pak Kadus Gombong, sekalian pamit juga :)
Bersama pak Kadus Gombong, sekalian pamit juga 🙂
Yang mau prewedding disini ada tarifnya lo...
Yang mau prewedding disini ada tarifnya lo…

Bagaimana kelanjutan perjalanan BoSoLo, simak di tulisan berikutnya yaa… 🙂

‘Short Escaping’: Edisi Sumber Maron

Jenuh dengan pekerjaan dan tugas-tugas sampingan (yang seringkali lebih menyita waktu daripada tugas utama), kami berlima berniat kabur sejenak menikmati udara bebas (berasa sedang dikurung 😦 ).  Karena judulnya ‘sejenak’, yang artinya tidak lebih dari waktu jam kerja di hari kerja, maka kami mulai mencari beberapa destinasi yang memenuhi syarat dan ketentuan berikut:

  1. Radius ± 1 jam dari kampus
  2. Masih alami
  3. Pengunjungnya sedikit
  4. Murah

Akhirnya kami sepakat memilih mata air Sumber Maron di Gondanglegi sebagai tempat jujugan.  Ini juga usulan Indri yang pernah jadi dokter PTT di sana.  Setelah browsing tentang Sumber Maron, aah, not bad lah 😉

Ok, here we go!

Start dari kampus, dengan ‘pura-pura’ berangkat kerja tapi bagasi mobil diisi tenda dan macam-macam makanan dan minuman untuk bekal.  Sempat pesan nasi krawu juga untuk makan siang.  Akhirnya berangkatlah kami semobil berlima plus Rita junior (Rifat) karena abinya mendadak tidak bisa dititipi anak 😀

Pukul 8.30 kendaraan melaju ke arah selatan kota Malang lewat Sukun menuju Kepanjen.  Jalanan tidak macet, cukup lancar dan sebagian lengang.  Iyalah, orang-orang pada kerja atau sekolah. Hihihi…  Sempat diwarnai insiden nyasar, kurang lebih satu jam kemudian sampailah kami di jalan masuk kompleks mata air Sumber Maron.  Jalannya bisa dilalui mobil, walaupun bukan aspal.  Parkiran juga cukup luas.  Biaya parkir 5000 perak dan masuk ke mata air gratis.  Iya, ini penting, gratis.  Walaupun bikin agak cemas, jangan-jangan karena gratis, orang-orang sudah berkerumun di sana.  Ah, sudahlah, kita lihat saja nanti.  Dari parkiran kami menyusuri jalan turunan kurang lebih 200 meter menuju sumber.  Karena matahari bersinar cukup terik, payung-payung pun mengembang manis.

Sejauh mata memandang...
Sejauh mata memandang…
Jalan menuju mata air Sumber Maron.
Jalan menuju mata air Sumber Maron. Sudah banyak warungnya kan.
Istirahat dulu ya, turunannya lumayan bikin lutur ngeper :)
Istirahat dulu ya, turunannya lumayan bikin lutur ngeper 🙂
Matahari menjelang tengah siang #puanas#
Matahari menjelang tengah siang #pantespuanas#

Tiba di lokasi kami melakukan observasi sebentar.  Maksudnya, mencari tempat paling tersembunyi untuk berenang-renang gitu.  Ternyata ada juga beberapa pengunjung yang sudah nyemplung duluan ditemani bebek-bebek sungai.  Ada juga bagian sumber air yang melebar dan berair tenang yang dimanfaatkan untuk budidaya ikan emas oleh penduduk sekitar.  Berenang diantara ikan-ikan juga boleh, dijamin tidak ada ikan buas semacam piranha disana.  Dan ternyata di tempat ini kita tidak perlu takut kelaparan sampai-sampai bawa parafin buat bikin mie karena sudah banyak dijumpai warung-warung yang menjual makanan dan minuman.  Kebanyakan memang jualan gorengan, kalau kurang kenyang kita bisa pesan mie instan.

Kolam budidaya ikan Mas.
Kolam budidaya ikan Mas.
Air terjun kecil.  Maaf, gak sempat ngambil gambar yang lebih dramatis :D
Air terjun kecil. Maaf, gak sempat ngambil gambar yang lebih dramatis 😀
DSC_4911
Mau berenang bareng bebek? Disini tempatnya 🙂

Terdapat juga bangunan Pembangkit Tenaga Listrik Mikro Hidro sehingga tempat ini bisa dimanfaatkan untuk wisata edukasi.

Instalasi PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) Sumber Maron.
Instalasi PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) Sumber Maron.
DSC_4916
Bangunan PLTMH.
Musholla.  Bagusan bangunan PLTMH-nya ya :(
Musholla. Bagusan bangunan PLTMH-nya ya 😦

Setelah menyeberangi air terjun kecil, kami mendirikan tenda di dataran yang agak tinggi.  Kaki diselonjorkan dan perbekalan dikeluarkan sambil mengatur strategi dimana sebaiknya kami nyemplung.  Takut ketauan Joko Tarub soalnya 😛

Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke mata air di awal perjalanan tadi.  Dengan pertimbangan, selain sepi dan terhalang pohon-pohon besar airnya juga masih bersih baru keluar dari sumbernya.  Selain itu tersedia ruang ganti yang memadai dan dekat dengan warung gorengan #teteup#.

Ngadem dan ngemil di tenda.
Ngadem dan ngemil di tenda.
Tubing sambil narsis :D
Tubing sambil narsis 😀

Ternyata benar, di sekitar akar-akar pohon besar itulah tersebar beberapa mata air dengan tekanan yang cukup kuat bisa untuk pijat refleksi.  Perairannya sangat bening dengan kedalaman tidak lebih dari 2 meter sehingga kita bisa mengamati ikan-ikan kecil yang berenang diantara bebatuan #sokroman#.  Disini ban renang disewakan dengan harga 5000 rupiah.

Puas main air, pukul 12.00 kami check-out untuk kembali ke kampus.  Kali ini kami memilih pulang lewat Raya Bululawang.  Sebelumnya mampir dulu di Masjid Besar Gondanglegi untuk sholat Dhuhur lalu makan siang di bakso Koibito.  Pukul 15.00 kami sudah tiba lagi di kampus dengan gaya macam baru kembali dari dinas luar.  Maunya sih, ‘short escaping‘ alias minggat sejenak ini jadi agenda rutin spice lady 🙂

Masjid Besar Gondanglegi.
Masjid Besar Gondanglegi.

Dan seperti biasa, berikut rute perjalanan yang kami tempuh.

UB - Kepanjen - Sumber Maron - Bululawang - UB
UB – Kepanjen – Sumber Maron – Bululawang – UB
Eh, kenapa ada yang ngemil batang kersen ya?
Eh, kenapa ada yang ngemil batang kersen ya?

Salam 😉

(all pictures were taken by Inong & Indri)

Menelusuri Situs Purbakala Kota Malang

Minggu pagi ini kami tidak jadi jalan-jalan ke Singosari-Lawang. Semua bangun kesiangan, hehehe… FYI, agak siangan gini jalan raya dari dan menuju Malang sudah mulai macet. Apalagi saya sakit perut sejak kemarin. Akhirnya Plan B dijalankan. Tujuan wisata kali ini menelusuri situs purbakala yang ada di kota Malang. Karena niat mbolangnya tidak terlalu jauh, kami bertiga naik motor.

And, here we go… 😉

Candi Badut

Lokasi candi ini sebetulnya sudah termasuk Kab. Malang, Kec. Dau, Desa Karangwidoro, tapi lebih mudah dijangkau dari arah Kota Malang karena dekat dengan perbatasan Kec. Sukun. Tepatnya di Jl. Candi VD di depan lapangan voli dan sebelah kiri TK Dharma Wanita II Karangbesuki. Kami mencapainya setelah berkendara selama kurang lebih 15 menit.

Daerah ini baru berkembang pada tahun 1980-an. Sebelumnya masih sepi. Sekarang lokasi candi ini nyaris di tengah perkampungan. Sempat nyasar karena papan nama candi yang tidak menghadap tepat ke jalan. Candi ini pun baru dipugar lagi pada tahun 1990-an setelah sebelumnya separuh bangunan sempat direstorasi pada jaman penjajahan Belanda, demikian penjelasan Pak Hari selaku juru pelihara candi yang asli daerah tersebut. Diduga candi ini berhubungan dengan prasasti Dinoyo yang ditemukan di daerah Merjosari. Kalau memang benar demikian, maka inilah candi tertua di Jawa Timur yang diresmikan pada tahun Saka 682/Nayana Vasurasa atau 760 M (tahun 1 Saka terhitung sebagai tahun 78 M). Di dalam prasasti tersebut candi ini dibangun atas perintah Raja Gajayana sebagai raja kerajaan Kanjuruhan yang menjadi cikal bakal sejarah peradaban Malang Raya (Kab. Malang, Kota Malang, Kota Batu). Pada masa itu kerajaan Kanjuruhan yang diperintah oleh Raja Dewasimha dan putranya, Sang Liswa, mencapai masa keemasan. Kedua raja tersebut sangat adil, bijaksana dan dicintai rakyatnya. Bahkan Sang Liswa yang bergelar Gajayana adalah raja yang pandai melucu (mbadhut; badut, bhs. Jawa).  Selain itu, tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasira (28 Nopember) yang tercantum di dalam prasasti tersebut dipakai sebagai tanggal lahir Kabupaten Malang.

Lanskap Candi

Seperti halnya candi-candi lain di Jawa Timur, candi ini juga menghadap ke Barat. Yang membedakan dengan candi-candi yang lebih muda adalah tidak adanya rahang bawah pada pahatan kalamakara di atas pintu dan di atas tiap ceruknya. Bangunannya juga lebih tambun seperti candi-candi di Jawa Tengah. Selain itu arsitekturnya sangat mirip dengan Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran Jawa Tengah. Hal tersebut menunjukkan bahwa candi ini dibangun pada masa-masa awal penyebaran agama Hindu-Syiwa ke Jawa Timur. Sayangnya, bagian atas candi belum dapat dikembalikan ke bentuk asalnya karena ornamen yang sudah lama runtuh dan tertimbun sehingga aus dan membahayakan. Selain itu sebagian batu-batu penyusunnya juga tidak utuh karena sempat diambil oleh penduduk sekitar sebagai bahan bangunan. Seandainya dipaksakan maka sebagian besar akan menjadi tidak asli lagi. Hanya pelipit di sepanjang tepi atas dinding yang masih tersisa. Sedangkan bagian puncak dan ornamennya tersusun rapi di di halaman candi. Kalau ingin membayangkan bagaimana rupa candi ini secara utuh dapat melihat miniatur candi di ruang juru pelihara.

Nyaris tak terlihat :(
Nyaris tak terlihat 😦
Sisi utara Candi Badut
Sisi utara Candi Badut
Bagian puncak candi yang belum terpasang.
Bagian puncak candi yang belum terpasang dan arca lingga-yoni yang diduga sebelumnya berada di dalam candi pewara.
Ornamen candi yang sudah aus sehingga tidak mungkin lagi dipasang.
Ornamen candi yang sudah aus sehingga tidak mungkin lagi dipasang.
Miniatur Candi Badut di ruang juru pelihara.
Miniatur Candi Badut di ruang juru pelihara mengikuti bentuk bangunan Candi Gedong Songo.

Pada saat ditemukan, selain candi utama, di halaman candi terdapat tiga sisa-sisa fondasi candi pewara (candi pengiring) yang berjajar dari utara ke selatan menghadap timur. Candi pewara sebelah kanan dan tengah sudah ditimbun karena sangat sulit diidentifikasi. Sedangkan fondasi candi pewara sisi kiri dibuatkan tepian seperti kolam untuk mempertahankan tanah sekitarnya agar tidak longsor. Diduga dalam candi pewara tersebut diletakkan arca lembu nandi dan arca lingga-yoni yang ditemukan di sekitar reruntuhan. Lembu Nandi adalah binatang tunggangan Syiwa. Keberadaan arca ini menunjukkan bahwa Candi Badut merupakan candi Hindhu-Syiwa Batuan penyusun kedua candi pewara tersebut juga tertumpuk rapi di sudut-sudut halaman. Dari tumpukan batuan ini kami belajar bagaimana mereka menyusun batu sehingga dapat terbentuk candi yang kokoh. Adalah bentuk siku yang saling mengunci sehingga susunan balok batu menjadi rapi seperti lego. Maklumlah, dulu kan belum ada semen.

Fondasi candi pewara sebelah kiri.
Fondasi candi pewara sebelah kiri.
Hiasan kalamakara yang seharusnya terletak  di atas pintu masuk candi pewara.
Hiasan kalamakara tanpa rahang bawah seperti pada candi induk yang seharusnya terletak di atas pintu masuk candi pewara.
Arca lembu Nandi yang sudah tidak utuh lagi.
Arca lembu Nandi yang sudah tidak utuh lagi.
Ornamen ini biasanya terletak di atap candi menghadap ke bawah.
Ornamen ini biasanya terletak di atap candi menghadap ke bawah.
Tumpukan batuan yang belum disusun memiliki bagian siku sebagai pengunci.
Tumpukan batuan yang belum disusun memiliki bagian siku sebagai pengunci.
Batu umpak, lubangnya dibuat sebagai tempat memasang struktur kayu.
Batu umpak, lubangnya dibuat sebagai tempat memasang struktur kayu.

Arsitektur Candi

Dapur atau alas candi setinggi 2 meter tanpa relief. Selasarnya selebar 1 meter mengelilingi candi tidak sesempit Candi Kidal yang pernah kami kunjungi. Pada keempat sisi candi terdapat ceruk tempat meletakkan arca. Tinggal arca Durga Mahisasuramardini pada ceruk sisi utara yang masih ada walaupun tanpa kepala. Kalau kepalanya masih ada, maka dia dapat memandang puncak Gunung Arjuno seperti saya saat ini. Sementara arca Syiwa dan Ganesya yang seharusnya berada di ceruk sisi selatan dan timur sudah tidak ada lagi di tempatnya. Pada dinding tangga terdapat relief burung berkepala manusia dan peniup seruling. Terdapat ukel pada pegangan tangganya menuju bilik penampil atau lorong sepanjang 1,5 m. Di dalam ruangan terdapat arca lingga-yoni sebagai lambang kesuburan dan juga merupakan perwujudan dari penyatuan Syiwa-Parwati. Walaupun keseluruhan candi terbuat dari batu andesit, tetapi khusus yoni selalu dibuat dari batu hitam sehingga lebih tahan dari kerusakan. Di sekeliling ruang terdapat 5 ceruk kecil tempat meletakkan arca dewa. Diduga arca ini terbuat dari emas atau logam mulia lain sehingga hanya dipasang pada saat upacara pemujaan. Kami menemukan banyak coretan bahkan pahatan ‘palsu’ pada dinding candi termasuk tulisan aksara jawa di bagian kanan dan kiri alasnya. Tulisan ini tidak jelas dibuat pada tahun berapa yang jelas bukan dibuat pada masa pembangunan candi yang masih menganut aksara jawa kuno.

Hiasan ukel di pegangan tangga candi.
Hiasan ukel yang umum dijumpai pada pegangan tangga candi.
Arca Durga Mahisasuramandini di dalam ceruk sisi utara.
Arca Durga Mahisasuramardini di dalam ceruk sisi utara.
Arca lingga-yoni di ruang dalam Candi Badut, merupakan representasi Syiwa-Parwati.
Arca lingga-yoni di ruang dalam Candi Badut, yoni terbuat dari batu hitam yang tahan gangguan cuaca.
Ceruk-ceruk kecil untuk arca pada saat pemujaan.
Ceruk-ceruk kecil di dalam ruang candi untuk arca pada saat pemujaan.
Pahatan burung di sisi kanan tangga.
Pahatan burung di sisi kanan tangga.
Relief sisi kiri tangga.
Relief burung di sisi kiri tangga. Perlu mengerahkan imajinasi untuk dapat membaca gambar relief 😀
Warning: Tulisan aksara Jawa ini bukan dibuat pada masa pendirian candi.
Warning: Tulisan aksara Jawa ini tidak dibuat pada masa pendirian candi.

Situs Karang Besuki

Berikutnya perjalanan dilanjutkan ke Candi Karang Besuki. Lokasinya kurang lebih 1 km sebelah utara Candi Badut di kompleks makam setelah belok kiri dari SD Karangbesuki III. Tidak ada papan penunjuk arah apapun menuju situs ini. Warga sekitar pun lebih mengenalnya sebagai Candi Wurung karena hanya tersisa fondasi saja. Saat ditemukan dulu, kaki atau alas candinya masih ada dan disekitarnya ditemukan yoni dan arca Ganesya. Agak jauh dari tempat tersebut juga ditemukan arca Agastya. Dari penemuan arca dan yoni tersebut diduga bangunan candi ini dulu dibangun pada jaman yang sama dengan Candi Badut. Hal tersebut diperkuat dengan salah satu bait pada prasasti Dinoyo yang menyebutkan adanya tempat untuk memuliakan resi Agastya yang berguna sebagai tempat untuk mendapatkan keselamatan. Hal tersebut dihubungkan dengan lokasi ditemukannya candi tersebut di daerah Karangbesuki yang artinya daerah atau tempat keselamatan. Memang menurut kesepakatan di dunia arkeologi candi dinamai berdasarkan nama wilayah atau desa tempat ditemukannya candi tersebut. Walaupun ada candi yang dinamai berdasarkan kisah yang menyertai pembangunan candi tersebut seperti Candi Kidal.

Untuk mencapai situs ini kami harus melewati area pemakaman umum sehingga tidak pantas kiranya kalau kami foto-foto disana (takut ada yang ‘numpang’ foto, hiii…).

DSC_4782
Berada di sudut kompleks pemakaman.
DSC_4783
Fondasi yang tersisa.

DSC_4784

Museum Mpu Purwa, Jl. Soekarno-Hatta 210 Malang (Telp. 0341-404515)

Terletak persis di belakang Rumah Sakit Pendidikan Univ. Brawijaya, seberang Krida Budaya Jl. Soekarno-Hatta, museum ini menyimpan ratusan benda-benda purbakala yang sekarang disebut sebagai benda cagar budaya. Kebanyakan benda ini berasal dari pengumpulan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda. Sebagian lagi berasal dari koleksi pribadi. Biasanya ditemukan oleh penduduk pada saat membuat fondasi bangunan, saluran air, bahkan septi-tank (apapun aktifitas yang bersifat menggali kan). Jadi terbayang di bawah tempat tinggal kita terdapat situs candi atau arca. Koleksinya mulai benda jaman prasejarah (neolitikum-megalitikum) seperti kapak persegi dan kapak genggam hingga menhir (tugu batu). Bicara menhir, jadi ingat menhirnya Obelix ya :D. Kemudian koleksi jaman logam berupa kalung dan cincin perunggu yang menunjukkan bahwa masyarakat Malang pada masa itu sudah mengenal teknologi pengecoran logam. Sedangkan prasasti yang menyebutkan adanya kehidupan bermasyarakat di Malang adalah prasasti Dinoyo 1 (tahun 760 M, merupakan prasasti tertua di Jawa Timur), prasasti Dinoyo 2 (tahun 898 M), prasasti Kanuruhan (tahun 935 M) dan prasasti Muncang/Mpu Sindok (tahun 944 M). Masing-masing prasasti ditulis dengan tingkat kesusasteraan yang tinggi memakai huruf Jawa Kuno yang merupakan perkembangan dari huruf Pallawa (India). Benda-benda cagar budaya ini kemudian diinvetaris ulang dan diberi nomor sesuai dengan sistem penomoran oleh BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan.  Pada saat kami tiba disana, Museum sedang direnovasi sejak April 2014. Sebagian benda cagar budaya yang kami tampilkan disini sementara diletakkan begitu saja di dalam barak tripleks beratapkan asbes di halaman Museum. Alasnya tanah dan lembab yang dapat mempercepat proses pelapukan batu. Mudah-mudahan renovasinya cepat selesai.

Tempat penampungan sementara :(
Tempat penampungan sementara 😦

Berikut beberapa koleksi museum yang sempat kami abadikan:

Budha Aksobhya

Arca Budha Aksobhya dari percandian Singosari ini diduga dibawa ke Malang dan diletakkan di taman Assisten Residen antara tahun 1815 s.d. 1820. Arca ini menggambarkan tokoh Budha dalam pantheon agama Budha Mahayana yang sedang duduk bersila dengan sikap Padmasana. Kepala gundul, daun telinga panjang, serta raut muka menunjukkan seseorang sedang semadi. Pada leher tampak 3 guratan lipatan yang menandakan kebahagiaan. Memakai jubah tipis, sehingga tampak seperti telanjang. Tangan kanan bersikap menyinggung bumi (Bhumisparsamudra), yaitu telapak tangan menelungkup, sementara tangan kiri berada di depan perut. Posisi Budha yang seperti ini disebut sebagai Budha Aksobhya, yaitu Budha penguasa timur.

Budha Aksobhya, sang penguasa timur.
Budha Aksobhya, sang penguasa timur.

Makara

Makara sebenarnya sebutan dari sebuah ornamentasi atau ragam hias Hindu yang menggambarkan hewan ajaib di dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi India disebutkan adanya hewan ajaib yang mempunyai badan seekor ikan dengan kepala seekor gajah. Dalam kesenian Hindu-Jawa dikenal istilah ‘Gajamina’.  Makara yang terdapat di sini adalah makara bekas hiasan dari jorokan pipi tangga masuk sebuah bangunan candi. Ditemukan di daerah Njoyo-Merjosari. Dilihat dari ciri hiasannya yang berupa mulut ikan menganga dengan belalai gajah serta di dalamnya terdapat hiasan seekor singa kecil, dapat diperkirakan bahwa makara ini berasal dari masa abad VIII s.d X M. Penduduk setempat waktu itu menyebut ‘watu ukel’ atau ‘watu jaran kepang manten’.

Sepasang makara, lingga-yoni, dan patung Budha Asobhya di halaman museum.
Sepasang makara, lingga, dan patung Budha Asobhya di halaman museum.

Prasasti Dinoyo 2

Batu prasasti ini ditemukan di sekitar pertigaan Jl. MT. Haryono dengan Jl Gajayana kelurahan Dinoyo Malang pada tahun 1985. Prasasti menggunakan bahasa Jawa kuno dan berhuruf Jawa kuno pula. Disebut sebagai prasasti Dinoyo 2 karena di Dinoyo pernah ditemukan prasasti yang disebut prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M. Prasasti Dinoyo 2 ini memuat dua penanggalan. Penanggalan pertama memuat angka tahun 773 saka bulan Magha hari Wrehaspati Was Umanis tanggal 8 paro terang (tanggal 15 Januari 851 M). Penanggalan kedua memuat angka tahun 820 saka bulan Srawana hari Aditya Mawulu Umanis tanggal 8 paro gelap (tanggal 2 Juli 898 M). Isi yang dapat dipetik dari batu prasasti yang sebagian besar hurufnya aus tersebut adalah: bahwa pada tahun penanggalan yang pertama disebutkan bahwa Dang Hwan sang Hiwil dari Hujung menetapkan status tanah sawah untuk dijadikan sima bagi kelangsungan biara pertapaan yang dipimpin oleh Dang Hyang guru Candik. Penetapan tanah sawah tersebut disaksikan oleh beberapa pejabat. Tetapi dalam perjalanannya tanah sawah tersebut pada akhirnya oleh para tetua desa dijual kepada para tetua desa Kandal. Sehingga akhirnya pada penanggalan yang kedua ( 47 tahun kemudian) disebutkan bahwa tanah sawah tersebut ditebus kembali oleh Dang Hwan dari Hujung yang namanya tidak diketahui karena aus, untuk diberikan dan ditetapkan lagi sebagai tanah sawah wakaf untuk biara pertapaan, dengan disaksikan oleh beberapa pejabat dan saksi lainnya.

Prasasti Dinoyo 2.
Prasasti Dinoyo 2.

Prasasti Muncang

Prasasti ini ditemukan di desa Blandit-Wonorejo, Singosari. Isi dari prasasti Muncang bahwa pada tahun 866 saka bulan Caitra tanggal 6 suklapaksa (paroterang) hari ‘tunglai-pahing-anggara’ wuku Shinta, yang bertepatan dengan tanggal 3 Maret 944M.  Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok Sri Isana Wikramadharmottunggadewa memerintahkan melalui Rakai Kanuruhan untuk menetapkan sebidang tanah di desa Muncang yang masuk wilayah Hujung. Maksud dari penetapan sebidang tanah tersebut guna kelangsungan bangunan suci (tempat pemujaan) yang bernama ‘Siddhayoga’, yaitu sebuah tempat ketika para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap harinya, serta mempersembahkan kurban bunga kepada bhatara Sang Hyang Swayambuha di Walandit.

Prasasti Muncang.
Prasasti Muncang.

Batu gores

Batu gores merupakan salah satu produk dari masyarakat masa megalithik. Fungsi batu gores berhubungan dengan sistem upacara pertanian atau pula sebagai sarana upacara pengasahan senjata tajam.  Batu ini ditemukan di Jl. Kanjuruhan Tlogomas, Kel. Lowokwaru..

Batu gores.
Batu gores.

Lebih lengkap tentang koleksi Museum Mpu Purwa dapat dilihat di situs resminya.  Dan inilah dia jalur perjalanan kami kemarin 🙂

Tidak usah jaun-jauh untuk belajar dan bersenang-senang ;)
Tidak usah jaun-jauh untuk belajar dan bersenang-senang 😉
Sampai jumpa di candi yang berikutnya ;)
Sampai jumpa di candi berikutnya 😉

Jelajah Wisata Tumpang-Poncokusumo

Ini gara-gara searching jalan masuk ke area TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) jadi nyasar ke website tempat-tempat wisata di Tumpang, Kab. Malang. Ternyata oh ternyata, Kec. Tumpang yang hanya sak-nyuk-an (kurang lebih 20km) dari tempat tinggal saya memiliki banyak tempat wisata. Bahkan Desa Gubuk Klakah di sebelah timur kota kecamatan Tumpang pernah meraih juara 3 Desa Wisata tingkat nasional.

Nah, hari ini, dengan modal tekad kuat membara, informasi dari internet, dan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) saya dan anak-anak bersiap-siap menjelajahi beberapa tempat wisata di Tumpang. Terus terang, ini pertama kali saya ke Tumpang. Dan asal tahu saja, biasanya informasi dari internet itu sedikit mengandung unsur PHP. Bukan bermaksud menyesatkan, tapi karena mereka yang menuliskan itu sudah pernah berkunjung ke lokasi tersebut, jadi kesannya tempat itu mudah dicapai. Walaupun ‘dekat jalan raya’, ‘mudah dijangkau’, ‘banyak petunjuk jalan’, dlsbg, bagi seorang pemula selalu ada peluang untuk tersesat. Sejak awal saya sudah wanti-wanti pada anak-anak untuk waspada dan selalu membaca setiap papan petunjuk jalan. Kami berangkat pukul 8.00 dari Malang, lebih lambat dari waktu yang direncanakan.

And here we go! :))

CANDI JAGO

Ada dua jalan menuju Candi Jago. Jalan pertama tidak terlalu jauh (200m) dari Jalan Raya Tumpang.  Kalau dari arah Malang belok kiri sebelum pasar Tumpang. Ingat, sebelum pasar Tumpang. Kalau anda sudah sampai pasar Tumpang, artinya anda sedikit kebablasan. Jalan kedua, unrecommended, belok kiri dari pertigaan Tumpang-Bromo-Poncokusumo. Jalannya lebih curam, jauh, sempit dan berkelok (namanya juga hasil nyasar). Kami masuk dari jalan kedua dan keluar dari jalan pertama. Saat tiba di Candi Jago sedang ada ritual keagamaan dan foto-foto keluarga oleh salah satu rombongan pengunjung, sehingga rombongan lain belum diperkenankan naik. Tidak ada tiket masuk yang diberlakukan. Pengunjung dapat memberi donasi secara sukarela setelah mengisi buku tamu di pos depan.

Candi Jago, Tumpang, Malang.
Sisi Barat (depan) Candi Jago, Tumpang, Malang.

Sejarah tentang Candi Jago (Jajaghu) ini dicatat dalam kitab Negarakertagama dan Pararaton. Dibangun pada tahun 1268-1280 M sebagai penghormatan untuk Raja Singasari ke-4 yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana, candi ini pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada masa kerajaan Majapahit (abad 13). Candi Jago dipenuhi panel-panel relief yang terpahat dari kaki sampai dinding ruangan teratas. Relief candi ini mengandung unsur ajaran Budha dan Hindhu sesuai dengan agama syiwa Budha yang dianut Wisnuwardhana. Agama Syiwa Budha adalah aliran keagamaan yang merupakan perpaduan ajaran Hindu dan Budha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari. Badan candi terletak diatas batur setinggi 1 meter dan tiga teras berundak yang makin keatas makin mengecil. Terdapat lima kisah utama yang merupakan perpaduan ajaran Budha dan Hindu yang tergambar sebagai relief pada candi ini. Unsur ajaran Budha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan Kunjakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada teras kedua tergambar lanjutan cerita Kunjakarna dan kisah Mahabarata yang mengandung ajaran Hindu (Parthayajna dan Arjuna Wiwaha). Teras ketiga berisi lanjutan relief Arjuna Wiwaha. Sedangkan dinding tubuh candi dipenuhi pahatan cerita Hindu, peperangan Kresna dan Kalayawana. Karena belum boleh naik ke teras yang lebih atas, kami hanya bisa mengamati kisah-kisah di dalam Tantri Kamandaka yang sebagian besar berbentuk fabel dan bagus diceritakan pada anak-anak untuk diambil pelajaran. Diantaranya kisah burung bangau dan kura-kura, persahabatan singa dan lembu, serta persahabatan katak dan ular.  Urutan kisah ini dibaca dari sisi kiri candi searah jarum jam (pradaksina).

Relief kisah burung bangau dan kura-kura di teras pertama Candi Jago.
Relief kisah burung bangau dan kura-kura di teras pertama Candi Jago.
Pahatan candi di dalam candi.
Pahatan candi di dalam candi.
Rombongan yang sedang mengadakan upacara adat.
Rombongan yang sedang mengadakan upacara adat (sisi Timur Candi Jago).
Pemasangan dupa di salah satu sudut Candi Jago.
Pemasangan dupa di salah satu sudut Candi Jago.

Sebagaimana karakteristik candi-candi di Jawa Timur, Candi Jago juga menghadap ke Barat dengan ruang utamanya (Garba Grha) terletak di bagian belakang. Karakter Singasari-nya tampak dari pahatan teratai (padma) yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Termasuk batu besar di tengah pelataran depan yang pada puncaknya dipahat membentuk bunga teratai yang menjulur dari bonggolnya. Sebelah kiri candi berdiri arca Amoghapasa berlengan delapan dengan latar belakang singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi. Amoghapasa adalah dewa tertinggi dalam agama Budha Tantra dan dianggap perwujudan dari Wisnuwardhana. Sedangkan di sisi kanan candi terdapat arca kepala raksasa setinggi 1 meter.

Arca Amoghapasa yang sudah tidak sempurna bentuknya.
Arca Amoghapasa yang sudah tidak sempurna bentuknya.
Arca kepala raksasa ini tidak diketahui pasti apakah letaknya memang disini atau bukan.
Arca kepala raksasa ini tidak diketahui pasti apakah letak aslinya memang disini atau bukan.

Selama berkunjung disana, petugas atau Juru Pelihara sedang sibuk mengamankan prosesi agama dan photo session, sehingga informasi tentang candi lebih banyak saya dapatkan dari internet.

CANDI KIDAL

Matahari belum tinggi saat kami meninggalkan Candi Jago menuju Candi Kidal yang berjarak kurang lebih 7 km dari Pasar Tumpang. Sekali lagi, modal nanya pada penduduk sekitar (GPS), sampai juga di Candi Kidal. Dari Pasar Tumpang kami menuju Timur dan belok ke kanan pada pertigaan tugu pahlawan (makam pahlawan). Nanti akan bertemu percabangan menuju Pajaran dan satunya apa lupa (hehe…). Jangan pilih Pajaran, tapi pilih yang ke kanan. Situs Candi Kidal ada di sisi kiri jalan. Tempatnya agak menjorok ke dalam dan bersebelahan dengan peternakan ayam. Akibatnya, walaupun tempatnya lebih asri dan adem tapi polusi bau ayam tidak dapat dihindarkan. Sayang ya…

Karakteristik Candi Kidal sama dengan Candi Jago kecuali pada teknik pembacaan reliefnya. Relief Candi Kidal dibaca dari sisi kiri candi dengan teknik berlawanan arah jarum jam (prasawiya). Candi ini representasi dari pengagungan tokoh ibu dan dinamai sesuai dengan tempat wanita di sebelah kiri laki-laki (kidal). Sebetulnya, kalau mau wisata edukasi candi-candi di daerah Malang, agar ceritanya nyambung, seharusnya candi inilah yang dikunjungi pertama kali karena dibangun paling awal, yaitu 1248 M. Tujuan pembangunan candi ini sebagai pendermaan untuk Raja Anusapati dari Singasari agar arwahnya mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Kalau dalam agama Islam, kurang lebih maksudnya sama dengan wakaf atas nama orang yang sudah meninggal sehingga pahalanya terus mengalir dan mendapat kemuliaan di akherat. Disini kami banyak belajar filosofi candi dari Pak Imam, Juru Pelihara Candi Kidal. Asal tahu saja, sebagai Juru Pelihara candi, walaupun dibawahi langsung oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) daerah melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang pusatnya Trowulan untuk Jawa Timur, Pak Imam juga bertindak sebagai petugas kebersihan dan perawatan candi. Saat kami temui, beliau berpakaian kaos tanpa alas kaki membersihkan batuan candi dari lumut yang tumbuh menggunakan lidi. Lumut adalah tumbuhan perintis yang memang menjadi musuh utama pelapukan batuan (jadi ingat pelajaran SD ya 😀 ). Pada candi-candi yang lebih terkenal seperti Borobudur dan Prambanan, pertumbuhan lumut dihambat dengan cara melapisi batuan menggunakan zat tertentu yang mahal. Perawatan semacam ini belum diperluas pada candi-candi yang lebih kecil yang tersebar di Nusantara.

Kembali ke Candi Kidal. Agak berbeda dengan candi lain, pada tangga naiknya tidak terdapat ukel dan anak tangganya tipis serta sempit seperti bukan tangga naik. Hati-hati kalau mengajak anak kecil kesini. Saya sudah deg-deg serr saja melihat si Kecil yang sibuk mengeksplorasi seluruh sisi candi. Di setiap sudut candi terdapat patung mirip singa duduk dengan satu tangan seolah-olah menyangga candi. Di kanan, kiri, dan samping candi terdapat relung yang dulu menyimpan patung Syiwa. Saat ini patung tersebut disimpan di Museum Leiden, Belanda. Di atas pintu masuk terdapat hiasan kalamakara (kepala kala) yang menyeramkan dengan sikap mengancam seolah-oleh menjaga kesucian candi. Puncak atap tidak dihiasi ratna atau stupa melainkan datar saja. Bagian badan candi banyak terdapat relief bunga, sulur-suluran dan medalion.

Selamat datang di Candi Kidal.
Selamat datang di Candi Kidal.
Candi Kidal, yang ramping, tanpa ukel di sisi tangga, tangga yang tipis, puncak yang rata, dan arca menyerupai singa di sudut-sudutnya.
Candi Kidal yang ramping, tanpa ukel di sisi tangga, tangga yang tipis, puncak yang rata, hiasan kalamakara di atas pintu, dan arca menyerupai singa di salah satu sudutnya.
Relung di kanan-kiri pintu yang sudah tidak ber-arca.
Relung di kanan-kiri pintu yang sudah tidak ber-arca.

Untuk menegaskan bahwa candi ini membawa misi tentang perempuan dan bakti Raja Anusapati pada ibundanya, Ken Dedes, maka di teras candi terdapat ukiran kisah Garudheya. Walaupun hanya mitos, kisah Garudheya mempunyai filosofi yang dalam yaitu tentang seekor burung garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon ditampilkannya cerita ini sesuai dengan amanat Anusapati yang ingin meruwat atau membersihkan ibu yang sangat dicintainya dari penderitaan.

Relief pertama, garuda menggendong tiga ekor ular besar.
Relief pertama, garuda menggendong tiga ekor ular besar.
Relief kedua, garuda dengan kendi air suci amerta di atas kepalanya.
Relief kedua, garuda dengan kendi air suci amerta di atas kepalanya.
Relief ketiga, garuda menggendong seorang wanita (ibunya).
Relief ketiga, garuda menggendong seorang wanita (ibunya).

Menurut Pak Imam, dari mitos yang diceritakan kembali oleh Moh. Yamin saat itu kepada Bung Karno ketika berkunjung di kota Malang inilah maka muncul inspirasi beliau untuk menjadikan burung garuda sebagai lambang negara Indonesia. Garuda yang membebaskan ibu pertiwi dari penjajahan bangsa asing.

Salah satu event ruwatan yang diadakan di Candi Kidal.
Salah satu event ruwatan yang diadakan di Candi Kidal.

REST AREA DAN AGROWISATA PETIK APEL GUBUK KLAKAH

Destinasi berikutnya adalah Desa Wisata Gubuk Klakah, Kec. Poncokusumo. Sempat nyasar kearah pusat kecamatan Poncokusumo, saya putar balik dan memasuki jalan menuju Bromo. Awalnya keder juga membawa si Daisy naik-naik ke puncak gunung. Kalau cuma Batu dan sekitarnya sih ayo aja. Tapi jalur ke Bromo kali ini patut dicoba. Selain belum tengah hari, nanggung karena sudah sampai Tumpang. Jalanan teraspal mulus walaupun menanjak. Setelah melewati desa Gubuk Klakah kami lanjutkan hingga Rest Area sambil ishomaba (istirahat, sholat dan makan bakso). Bakso Pak Afi murah meriah, bakso tanggung @1000, gorengan dan tahu @500, lontong @1000. Warungnya tepat di pinggir tebing dengan pemandangan lepas ke lereng bukit yang dipenuhi kebun apel, bawang daun, dan daun kubis. Nge-bakso sekaligus modus nyari-nyari informasi tentang Agro Wisata Petik Apel. Memang disediakan Pusat Informasi, tapi mesti jalan jauh ke ujung Rest Area. Saya ingin mencoba informasi lewat jalan belakang, siapa tahu lebih murah, hehe…

Suasana Desa Wisata Gubuk Klakah.
Suasana Desa Wisata Gubuk Klakah.
Bawang dimana-mana :D
Bawang dimana-mana 😀
Ini lho tanaman kol.
Ini lho tanaman kubis.
Bakso Pak Afi, harap fokus ke gambar latar ya... ;p
Bakso Pak Afi, harap fokus ke gambar latar ya… 😛

Ternyata informasi yang saya dapat dari pedagang bakso sama dengan apa yang saya dapatkan dari internet. Wisata Petik Apel ini bukan seperti Agrowisata Kusuma di Batu yang dikelola oleh satu orang atau perusahaan. Disini kita akan diajak berkunjung ke kebun-kebun petani apel yang sedang siap panen. Bisa kebun petani yang mana saja. Pemandunya juga penduduk lokal yang diperdayakan untuk menemani tamu. Mereka ini sudah standby di Rest Area atau bisa juga on-call. Seperti pemandu yang akan mengantar kami dengan penghubung penjual bakso. Tarifnya juga standar, dimanapun kapanpun oleh siapapun, 20.000/orang. Biasanya mereka melayani paket mengantar ke tempat wisata lainnya termasuk Wisata Candi, Coban Pelangi, Bromo, dengan bermalam di rumah penduduk (homestay), paket wisata 2 hari 1 malam 450.000/orang. Termasuk jemput-antar sampai stasiun/bandara/terminal di Malang. Tapi kali ini saya hanya minta diantar ke kebun apel saja. Si Daisy ditinggal di Rest Area dan kami menuju kebun apel dengan menumpang jeep terbuka yang sudah disediakan oleh pemandu. Apel yang dipetik di tempat dijual 20.000/kg, sedangkan apel yang dijajakan oleh penduduk sekitar dihargai 10.000/kg. Selisihnya adalah harga sensasi memetik apel. Kalau mau makan di tempat juga boleh sak-kuatnya sampai gigi goyang. Saat perjalanan kembali, beruntung kami bertemu dengan petani yang baru saja panen. Resminya saya membeli 2 kg apel dengan harga 20.000 tanpa ditimbang (karena petaninya tidak bawa timbangan). Sampai di rumah saya timbang ternyata dapatnya 4,5 kg. Lumayan.

Siap menjelajah kebun apel :)
Siap menjelajah kebun apel 🙂
DSC_4801
Sejauh mata memandang…
Apel manalagi. Nom nom nom... :p
Apel manalagi. Nom nom nom… 😛
Hasil panen petani apel.
Hasil panen petani apel.

Kabut sudah turun saat kami tiba kembali di Rest Area. Tapi anak-anak jadi tambah semangat melihat kabut sehingga minta turun lagi jalan-jalan di kebun bawang. Setelah terasa rintik hujan barulah kami meninggalkan lokasi setelah membayar retribusi parkir 10.000. Kami dan Daisy menembus hujan deras di sepanjang jalan pulang hingga sampai Malang pada pukul 15.30.

Rest Area dan jeep yang kami tumpangi (free of charge).
Rest Area dan jeep yang kami tumpangi (free of charge).
Hujan lebat di sepanjang jalan pulang (gerbang masuk Desa Gubuk Klakah).
Hujan lebat di sepanjang jalan pulang (gerbang masuk Desa Gubuk Klakah).
Akhirnya si Daisy sampai juga di Rest Area Gubuk Klakah :)
Akhirnya si Daisy sampai juga di Rest Area Gubuk Klakah 😛
Ini dia peta perjalanan kemarin, tidak jauh kan :)
Ini dia peta perjalanan kemarin, tidak jauh kan 😉

Next trip, Singosari dan sekitarnya 🙂

Kuliner Semarang Yang Terlewatkan

Pernah setahun tinggal di Semarang bukan berarti saya sudah mencoba semua kuliner di sana. Awal Januari kemarin saya berkesempatan dolan ke kota ini dan jalan-jalan ke tempat makan yang terlewatkan waktu itu.  Berikut diantaranya:

Waroeng Bandeng Juwana, Jl. Pandanaran 57, lt.2

Sumpah, baru tahu kalau di lantai dua toko yang jualan bandeng Juwana itu ada warung makannya. Itu lho, toko bandeng paling ramai di pusat oleh-oleh sepanjang Pandanaran. Menunya berbagai macam ‘daharan’ (makanan) berbahan dasar bandeng. Sebutkan saja mau bandeng dimasak model apa disana ada semua. Mulai dari digoreng, dipenyet, bumbu garang asem, bumbu balado, bumbu bali, bumbu serani, dibotok, dibuntil, digulai, dipepes, disate, ditongseng, bahkan dibakso. Kami berlima memutuskan untuk ‘makan tengah’ (istilahnya Eva), artinya pesan dan dimakan rame-rame. Kalau makan pinggir artinya makan masing-masing (egois? #cis) 😀

Waroeng Bandeng Juwana di lantai 2.
Waroeng Bandeng Juwana di lantai 2.

Buat kulineris yang tidak suka atau alergi bandeng, di tempat ini juga tersedia masakan berbahan tahu, tempe, ayam, bebek, dan kikil. Pokoknya, don’t worry be empty-lah (terjemahan bebas: jangan kuatir kelaparan). Dan, yang terpenting, harganya tidak menguras kantong (yang sudah terkuras, hiks). Akhirnya, merujuk pada Pancasila sila ke-4, setelah melalui musyawarah dicapailah mufakat. Kami pesan ‘selected daharan’ berikut:

  1. Nasi bakar (tentu yang isinya bandeng), 12K
  2. Pepes lombok ijo, 12K
  3. Tongseng bandeng (rekomendasi mbak Retno), 12.5K
  4. Sate bandeng (pilihannya Dicky), 13.5K
  5. Sayur bening bayam (khusus buat pecinta kuliner sehat, Agustinus ;p ) ,4K

Unjukan (minuman) yang kami pesan standar saja. Es jus, teh, wedang ronde tape (wedang ronde ditambah tape ketan ijo), dan susu jahe.

Rasa masakannya very recommended. Untuk pepes bandeng, sebetulnya kita punya pilihan, mau pepes lombok ijo, daun pepaya, atau daun singkong. Tongseng dan sate bandengnya mantap dengan daging bandeng yang lembut di lidah. Makan bandeng disini tidak akan diganggu oleh duri-duri tajam yang nyasar ke tenggorokan karena bandengnya dijamin berduri lunak semua. Kami pun makan kenyang dengan hati puas. Tidak sampai 100K untuk berlima.

Maaf, tidak sempat capture foto yang edisi lengkap :D
Maaf, tidak sempat capture gambar edisi lengkap 😀
Sebagai gantinya, kurang lebih ini daharannya.
Sebagai gantinya, kurang lebih ini daharannya.
... dan unjukannya :)
… dan unjukannya 🙂

Gimbal Tahu, Simpang Lima

Setelah ngiderin tiga lantai mall ciputra, kami berniat pulang. Tapi suasana malam di simpang lima ternyata semakin ramai. Banyak lapak-lapak lesehan di sekelilingnya yang menjajakan makanan dan minuman. Ada nasi kucing,wedang ronde, jagung rebus, dan gimbal tahu. Asalnya sih tidak terlalu ingin makan lagi, tapi gara-gara ingin tahu apa sih gimbal tahu itu, akhirnya kami pesan juga dengan dalih ‘mumpung masih di Semarang’. Gimbal tahu itu gorengan tepung yang diisi udang dan potongan tahu. Diberi sayuran seperti pecel dan disiram kuah kacang. Kuah kacangnya diberi kecap seperti kuah siomay. Porsinya menggunung. Untung saja kami pesan seporsi berdua. Dengan harga 15K, rasanya tidak sarapan pun besok pagi masih kenyang.

Tampilan gimbal tahu Semarang.
Tampilan gimbal tahu Semarang.

Tentu saja masih banyak kuliner semarang yang belum dicoba seperti tahu pong. Kabarnya ada tahu pong istimewa di jalan apa gitu (Cipto? Gajahmada? lupa :D). Semoga kapan-kapan bisa ke Semarang lagi.

Perjalanan Akhir Tahun: FASE389 – Edisi Kawah Ijen

“Walaupun saya bukan orang yang mengistimewakan pergantian tahun, tapi ujung tahun 2014 kemarin saya lalui dengan istimewa: Pendakian ke Kawah Ijen.” Kawah Ijen merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari Gn.Suket, Gn.Raung, Gn.Pendil, Gn.Rante, Gn.Merapi, dan Kawah Ijen itu sendiri. Kawah Ijen terletak kurang lebih 2.799 meter dpl (menurut Wikipedia) dan terletak di perbatasan Kab.Bondowoso dan Kab.Banyuwangi.

"... dibatas kota ini, kulepas kepergianmu." *halah* [Batas Kab. Bondowoso - Banyuwangi di jalur pendakian]
“… dibatas kota ini, kulepas kepergianmu.” *halah* [Batas Kab. Bondowoso – Banyuwangi di jalur pendakian]
Jember – Paltuding

Berawal dari keinginan lama yang sudah kapan tahu direncanakan bersama teman-teman FASE389, akhirnya terwujud juga acara jalan-jalan ini pada 27 Desember lalu. Pukul 5.00 sore, diantar gerimis perlahan (bukan gerimis mengundang punya SLAM) kami berenam (saya, Febry, Tacik, Arik, Ririn, dan Bamar) ditambah asisten Febry (mas Roni), menumpang APV yang disupiri pak Agus berangkat dari Jember menuju jalur pendakian Kawah Ijen melalui rute Bondowoso-Wonosari-Sempol-Paltuding. Jalan berliku-liku dan kondisi aspal yang kurang baik membelah perkebunan milik PTPN 12. Kata Arik dan Ririn, kondisi jaman dulu bahkan lebih jelek lagi sebelum jalan ini diaspal gara-gara Pak Domo dan Siska akan berkunjung ke Kawah Ijen pada masa itu. Akhirnya, sesuai perkiraan, kami tiba di Paltuding pukul 9.00, tenda sudah didirikan oleh tim pertama yang berangkat duluan. Sambil menunggu dibukanya jalur pendakian pada pukul 12.00 malam kami segera bergelung di tenda. Apalagi angin dingin berhembus makin kuat. Yang penting dapat kapling, makin rapat makin hangat. Maka, tenda berkapasitas 3 orang itu akhirnya dijejali oleh kami berlima.  Bamar, karena satu-satunya pejantan diantara kami, terpaksa melipir di pintu tenda.  Sebelum tidur masak-masak dan makan dulu. Yang masak timnya Rezha (anak Febry), kami kebagian tugas makan sampai habis. Tugas makan ini ternyata tidak sukses dijalankan, buktinya mi goreng dan telur ceplok di rantang hanya berkurang setengah. Kalah oleh rasa ngantuk. Tetapi rasa kantuk ternyata dapat dikalahkan oleh suhu yang makin turun di luar tenda. Kalaupun berhasil tertidur 10-15 menit, itu mungkin karena alarm tubuh sudah menjerit tersiksa oleh letih yang mendera #halaaah 😛 Pendakian dan Uji Stamina Terserah, bisa tidur atau tidak, tepat pukul 12.00 tenda dibongkar.  Kemudian kami ikut mengantri membayar retribusi 10.000 ribu rupiah per orang di gerbang jalur pendakian bersama pendaki lain. Suasana cukup ramai. Saya sempat curiga, jangan-jangan di puncak sedang ada Year End Great Sale Srengenge Dept. Store’ diskon hingga 90% bonus makan malam romantis sama mas Nunu. Tapi dugaan saya salah (kecewa berat). Saat itu kan malam minggu. Banyak pendaki yang berangkat dengan pasangannya walaupun saya tidak habis pikir, apa romantisnya mendaki berdua begitu? Gandeng-gandengan selama mendaki? Yang ada mungkin gendong-gendongan kalau si cewek gak kuat jalan ya? *uji kesetiaan*. Tapi betul juga, pendakian itu ibarat perjalanan kehidupan yang berat. Bagaimana mereka bisa saling bersinergi selama perjalanan atau malah saling meninggalkan karena tidak sabar kalau ada yang kelelahan maupun cedera, atau bertengkar sepanjang jalan gara-gara ada yang meleng nglirik pendaki lain yang lebih ok, bisa diuji dari perjalanan ini. Selain yang berangkat berpasangan, lebih banyak lagi pendaki yang berangkat berombongan. Bahkan beberapa keluarga membawa serta anak-anak usia sekolah karena hari itu masih dalam masa libur sekolah. Wah, apa mereka kuat ya? Karena walaupun perjalanan hanya 3 km, tapi kalau kemiringannya hingga 45 derajat kan lumayan pegel juga. Waktu tempuh hingga ke puncak rata-rata 2 jam. Saya dan teman-teman seperjalanan mengaku terakhir naik gunung pas jaman kuliah dulu. Itu artinya sekitar 20 tahun yang lalu. Kecuali Bamar, Febry, dan Roni yang memang rajin naik gunung. Hal yang membuat saya berada di antrian ini adalah, sebagai warga Jawa Timur, saya belum pernah ke Kawah Ijen yang tersohor itu. Jadi, walaupun beberapa teman mengingatkan cuaca Desember sedang tidak kondusif untuk pendakian, saya tetap berangkat. Lha kapan lagi? Walaupun kesempatan bisa dibuat, tapi kesempatan yang sama tidak akan didapat dua kali. Maksudnya kesempatan mendaki dalam cuaca buruk, hehehe… Akhirnya terbukti… Jalan yang cukup curam.  Tikungan tajam dan tanjakan dengan kemiringan 25-35 derajat dimulai dengan aman. Saat awal-awal masih bisa jalan sambil ngobrol dan cekakak-cekikik. Apalagi ada Ririn yang bolak-balik buang gas alam. Kebanyakan ubi Rin? Tapi lama-lama napas jadi cepat terkuras dan berdebar-debar (oksigen, mana oksigen?). Kami berhenti di beberapa tempat untuk foto-foto (alesaan, padahal karena sudah ngos-ngosan gara-gara jarang olahraga). Kami bahkan sempat menjumpai pendaki yang sedang dirawat darurat karena hipotermia. Selain itu perjalanan beberapa kali terhalang oleh pohon tumbang yang merintangi jalan. Setelah 2/3 perjalanan, sampailah kami di Pondok Bunder karena di tempat itu ada bangunan jaman Belanda berbentuk bundar (jawa: bunder) bercat merah dan Pos I yang juga merupakan Unit I Belerang yang menyediakan timbangan belerang. Di sini Arik yang memang sudah masuk angin gara-gara capek dan kehujanan sejak dari Jember sempat membuat jejak dengan mengeluarkan seluruh isi perutnya disini. Tapi setelah itu lega ya Rik, daripada menandai tempat yang kita lalui dengan graffiti 😀

Pondok Bunder
Pondok Bunder
Pos Unit I Belerang, Banyuwangi
Pos Unit I Belerang, Banyuwangi
Pasti bukan bikinan Arik :D
Pasti bukan bikinan Arik 😀

Gerimis, Longsor, Kabut, dan Bunker Konon perjalanan berikutnya setelah Pondok Bunder jalurnya lebih landai. Ya, memang lebih landai di beberapa titik dibandingkan setengah perjalanan pertama yang membuat kami pasang persneleng satu terus. Tetapi kali ini tantangannya berbeda. Kami harus ekstra waspada karena terjadi longsor di beberapa titik. Longsoran di jalur pendakian ini disebabkan kebakaran hutan beberapa waktu lalu sehingga menjadikan hutan miskin vegetasi. Selain itu, beberapa pohon tumbang menghalangi jalur pendakian. Ditambah lagi hujan yang mengguyur lokasi. Jas hujan yang kami beli di Indomaret sebelum masuk Wonosari tadi terpakai juga. Kami juga harus lebih berhati-hati melangkah dengan head-lamp siaga satu karena kabut tebal mengurangi jarak pandang.

Awas longsor!!!
Awas longsor!!!
Beberapa pohon tumbang.
Beberapa pohon tumbang.
Semangat poto yang tak pernah tumbang.
Semangat poto yang tak pernah tumbang.
Lereng dan kabut.
Lereng dan kabut.

Jarak Pondok Bunder ke Kawah Ijen kurang lebih 1 km dengan jalan yang menyempit, terjal, dan tetap menanjak walaupun lebih landai di beberapa titik. Kabut juga semakin tebal walaupun hujan sudah reda. Saking tebalnya kabut, sampai-sampai kami tidak menyadari kalau sudah sampai puncak. Hanya angin yang terasa semakin kencang dan pantulan head-lamp para pendaki yang tampak menyebar. Saat itu pukul 3.00 dini hari. Kami menyusuri gigir gunung dengan hati-hati. Gelap gulita di sekeliling. Jangankan blue-fire yang terkenal itu, ujung kaki saja sulit dideteksi dimana letaknya. Kabut yang membawa titik-titik air meninggalkan embun di ujung-ujung bulu mata. Angin yang membawa udara super dingin membuat ingus membeku. Untung saja di puncak terdapat banyak parit bekas retakan sehingga kami bisa memanfaatkannya sebagai bunker. Parit-parit yang menurut Febry, dalam keadaan biasa dipakai untuk persembunyian saat buang hasrat hajat. Spontan saja kami jadi ‘Siaga 1’, menajamkan penglihatan dan penciuman menghindari ranjau.  Maklum tidak ada ponten umum disana karena tidak ada yang sudi jaga MCK walaupun per buang hajat ditarip mahal. Padahal bisa cepat kaya kalau mau bisnis ponten umum sekaligus buka warung kopi dan mie rebus disana. Ah lupakan. Khayalan orang kebelet.

Menghindari angin dingin di parit-parit.
Menghindari angin dingin di parit-parit.
Tetap semangat euy... ;)
Tetap semangat euy… ;p *bunker*

Angin masih menderu kencang saat kami di berlindung di dalam bunker. Sambil menunggu angin reda kami duduk merapat mengusir hawa dingin. Malah ada yang bisa tidur seperti Arik.  Buktinya dia sempat terbangun dan protes-protes gara-gara kedinginan saat Bamar berdiri. Sebagian update status, chatting, atau memutar MP3 untuk mengusir bosan dan melemaskan sendi-sendi jemari yang mulai beku. Setelah langit tampak agak terang, kami mulai keluar bunker untuk mencari tempat yang lebih datar dan sholat subuh walaupun angin dingin masih belum surut juga. Pukul 6 pagi, barulah langit memunculkan warna birunya diselingi kabut tebal yang kadang masih numpang lewat. Seperti juga di sepanjang jalur pendakian, di puncak kami juga menjumpai sisa-sisa kebakaran hutan dan vegetasi di sekitarnya. Usaha untuk mengintip kawah hijau yang melegenda pun tidak terlalu sukses. Kabut terlalu tebal sehingga kami pun tidak berlama-lama di puncak.

Ndak usah mimpi lihat sunrise deh... *pagi*
Ndak usah mimpi lihat sunrise deh… *pagi*
Pukul 5.30 masih gelap. *kawah*
Pukul 5.30 masih gelap. *kawah*
Lumayan kelihatan, tapi setengah mati nunggu kabut menyingkir.
Lumayan kelihatan, tapi setengah mati nunggu kabut menyingkir. *kawah Ijen*
Parit di pagi hari, makin banyak pendaki berdatangan.
Parit di pagi hari, makin banyak pendaki berdatangan.
Bekas vegetasi yang terbakar di sekitar kawah.
Bekas vegetasi yang terbakar di sekitar kawah.

Pukul 7.00 kami meninggalkan Kawah Ijen. Beratnya medan saat mendaki terbayar oleh pemandangan indah di sepanjang jalan turun. Ranting-ranting yang menghitam bekas kebakaran, kabut yang setia mengawal kami, dan tunas yang mulai tumbuh merupakan kombinasi luar biasa yang menyebabkan perjalanan turun menjadi lebih lama daripada saat mendaki. Biasaaa, foto-foto duluuu. Sayangnya Ririn dan Tacik turun lebih cepat karena ingin segera sampai di ponten umum. Jadilah kami berempat yang lebih banyak nampang di foto dengan mas Roni sebagai juru kamera andalan (trims ya mas 🙂 ). Bersama-sama turun para penambang belerang yang memikul keranjang belerang yang beratnya hingga 40 kg masing-masing keranjang.  Untuk yang ini Bamar boleh ngeper deeh… hahaha.

Ini trek pendakian apa jalan mau ke pasar?? :o
Ini trek pendakian apa jalan mau ke pasar?? 😮
DSC_4615
Minggir, minggir, yang punya tambang mau lewat.
Souvenir pahatan belerang.  Paling kecil harganya 2.500 rupiah.
Souvenir pahatan belerang. Paling kecil harganya 2.500 rupiah.
Ehm, ehm... :p
Ehm, ehm… :p
Jangan percaya dengan wajah-wajah ceria ini, nyampe rumah pasti langsung pada pasang koyo :D
Jangan percaya dengan wajah-wajah ceria ini, nyampe rumah pasti langsung pada pasang koyo 😀

Kali Pait dan Homestay Arabica Kami tiba di Paltuding pukul 8.00. Setelah diwarnai insiden raibnya tracking stick milik Febry, pukul 10.00 kami meninggalkan kawasan cagar alam kawah Ijen. Tidak jauh dari sana ada Kali Pahit. Sungai dan air terjun yang airnya berwarna kehijauan seperti air di Kawah Ijen. Lokasinya di sisi kanan jalan pulang. Kandungan belerang yang tinggi membuat airnya konon rasanya pahit. Entah benar atau tidak karena tidak seorang pun dari kami yang ingin membuktikan. Pesan Bamar, boleh main air, tetapi jika mengenai mata atau selaput lendir lainnya segera dibasuh air tawar untuk mencegah iritasi. Alhasil kami sangat menghindari air saking parnonya.

Kali Pait, sungai dan air terjun kecil.
Kali Pait, sungai dan air terjun kecil.

Dari Kali Pait kami bergerak menuju Homestay Arabica yang terletak kurang lebih 13 km dari Paltuding. Disana kami mampir untuk sholat dhuhur dan makan siang. Kompleks homestay ini menyajikan pemandangan Kawah Wurung dan berbagai tanaman hias dataran tinggi. Mushollanya didesain seperti saung diatas empang. Airnya luar biasa dingin walaupun tidak sedingin air di kawasan Paltuding. Tidak lengkap rasanya kalau mampir sini tanpa pesan kopi. Kopi arabika yang dipanen dari perkebunan Blawan PTPN 12 ini rasanya yaa, seperti rasa kopi pada umumnya. Maaf, tidak bisa memberikan review yang baik karena saya bukan penikmat kopi. Hehehe… Lebih lanjut tentang homestay ini dapat dilihat disini.

Tempat makan di homestay Arabica, harga makanan sekitar 15 ribu-an.
Tempat makan di homestay Arabica, harga makanan sekitar 15 ribu-an.
Febry dengan latar belakang Kawah Wurung.
Febry dan latar belakang Kawah Wurung.

Pukul 12.00 perjalanan dilanjutkan. Kali ini tidak mampir-mampir lagi. Jalanan yang berliku-liku dan kendaraan yang melaju kencang tidak menyurutkan hasrat untuk tidur sampai kami tiba di Jember pukul 14.15. Terimakasih buat Ifa (ayam krispinya mantep tenan), Ririn yang gak sempat goyang mangap-mangap, Arik yang selalu semangat ’45, Tacik yang kuat jalan (disinyalir paru-parunya ada 3, kanan-kiri-tengah), Bamar dengan ‘regina’-nya, dan terutama Febry beserta tim. Kami tunggu open trip berikutnya yaa 😀

Catatan: Reportase lain bisa dilihat disini 🙂

The mascot.  "Adventure never dies."
The mascot. “Adventure never dies.

Jalan-jalan ke Papuma

Papuma berlokasi di pesisir pantai Selatan Kota Jember dan masuk wilayah desa Sumberejo, kecamatan Ambulu. Nama Papuma merupakan singkatan dari Pantai Putih Malikan.  Sebutan ‘malikan’ disini maksudnya ‘malihan’ atau berpindah-pindah, karena disana terdapat beberapa batuan pantai yang selalu pindah-pindah tempat karena derasnya arus ombak. Tempat wisata ini merupakan kombinasi dari pantai, tanjung, teluk, dan pulau-pulau karang (atol) yang menghiasi teluknya.

Dulu, 30 tahun yang lalu saat masih tinggal di Jember saya hanya kenal Pantai Watu Ulo. Dan sekarang, beberapa hari yang lalu, saya dan teman-teman FASE389 (Forum Alumni SMPN3 Jember Angk.’89) berkesempatan mengunjungi Pantai Papuma yang kami tempuh kurang lebih 1 jam dari kota Jember. Jalannya nyempal dari jalan besar menuju Watu Ulo. Aspalnya sepanjang 5 km lumayan masih utuh walaupun berlubang-lubang di beberapa titik. Lima belas menit dari titik sempalan kami disuguhi pemandangan ladang-ladang jagung dan hamparan pokok jati muda milik Perum Perhutani KPH Jember. Di gerbang masuk kami membayar retribusi 12.500 rupiah/orang kemudian mulailah medan yang menikung tajam, menanjak, dan menurun menyisir bukit batu selama kurang lebih 10 menit. Gigi roda selalu standby di angka 1. Jalan sempit ini bikin deg-degan saat berpapasan dengan kendaraan lain.

Tiba di lokasi, tampak deretan cottage dan warung-warung makan menghadap ke pantai. Di bumi perkemahan dekat pantai juga masih berdiri beberapa tenda pengunjung. Saya langsung nyesel berat batal menginap di Papuma malam sebelumnya. Pemandangan pantai dan pebukitannya sangat menjanjikan. Kombinasi antara pantai lepas laut Selatan yang berombak kuat dan hutan tropis yang dihuni beberapa jenis satwa liar seperti lutung (monyet ekor panjang), burung, biawak, dan ular. Kadang-kadang ada rusa juga turun dari Gunung Watangan yang datang mengasin di saat matahari mulai terbenam. Disana kita tidak usah khawatir jauh dari makanan. Kalaupun warungnya tutup kita bisa beli ikan dari nelayan yang merapat menjelang matahari terbenam lalu bakar sendiri. Yang hobi mancing juga bisa mengayun pancingnya dari Sitihinggil, dataran diatas bukit di ujung barat pantai. Dari atas bukit itu kita bisa lebih puas memandang gugusan pulau karang yang tersebar di teluk Papuma. Ada juga jasa perahu untuk merapat ke atol-atol tersebut yang dinamai dengan nama-nama wayang, Batara Guru, Kresna, dan Narada. Pulau Narada yang paling dekat dan menjadi ikon pemandangan di Papuma. Atau mau ke Nusa Barong? Pulau tanpa penghuni itu dapat dicapai kurang lebih 4 jam berperahu.

Selamat Datang di Papuma :)
Selamat Datang di Papuma 🙂
Pantai, pagi menjelang siang.
Pantai, pagi menjelang siang.
Batara Guru, Kresna, dan Narada, gugusan pulau karang di teluk Papuma.
Batara Guru, Kresna, dan Narada, gugusan pulau karang di teluk Papuma.  Tampak samar-samar pulau Nusa Barong di kejauhan.
"Dilarang mandi di laut" karena kuatnya arus ombak pantai Selatan.
“Dilarang mandi di laut” karena kuatnya arus ombak pantai Selatan.
Jalan setapak menuju Sitihinggil, tidak terlalu menguras tenaga kok :)
Jalan setapak menuju Sitihinggil, tidak terlalu menguras tenaga kok 🙂
Mengayun pancing dari Sitihinggil, umpannya udang, pemberatnya pakai rantai sepeda.
Mengayun pancing dari Sitihinggil, umpannya udang, pemberatnya pakai rantai sepeda.
Batu karang Narada, ikonik.
Batu karang Narada, ikonik.
Pantai Papuma, dari ketinggian.
Pantai Papuma, dari ketinggian.
Sisi barat pantai Papuma.
Sisi barat pantai Papuma.

Nah, untuk acara jalan-jalan bareng teman-teman FASE389 ini, sehari sebelumnya kami sudah membooking salah satu warung dekat pantai untuk menyediakan makan siang. Delapan kilo lebih ikan bawal dan kakatua kami dapatkan dengan harga 50 ribu sekilonya.  Acara utama kami tentu saja “Narsis Bersama” dilanjutkan makan siang dan ngobrol-ngobrol tentang pembentukan kepengurusan baru dan kelanjutan kegiatan FASE389.

Menimbang ikan untuk makan siang.
Menimbang ikan untuk makan siang.
Bersama... :D
Bersama, Bravo FASE389!!! 😀

Lebih jauh tentang Papuma bisa disimak di situs resminya.

Jogja on The Spot

Kali ini kita akan jalan-jalan ke beberapa tempat belanja di Jogja. Tujuan kita tentu saja Malioboro dan sekitarnya. Ke Jogja tanpa mampir Malioboro bagaikan tidur tanpa guling, wajib ‘ain (buat saya sih, hehe…). Di sana kita akan njujug Pasar Beringharjo, pusat jajanan Bakpia Pathok, dan Mirota Batik.  Jangan salah ya, di dekat kampus UGM juga ada Mirota, tapi namanya Mirota Kampus *pengalamannyasar 😦

Suasana di dalam shelter Trans Jogja *serbasantai
Suasana di dalam shelter Trans Jogja *serbasantai

Berangkat dari shelter bus UGM di depan RSUP Dr.Sardjito, kami menumpang bis Trans Jogja nomer 2B turun di shelter Malioboro 3 persis di dekat pasar Beringharjo. Dengan menumpang Trans Jogja ini , hanya dengan tiga ribu rupiah kita bisa puas jalan-jalan keliling Jogja. Asalkan tidak keluar dari shelter, kita bisa bebas pindah jalur bis. Pintu masuk shelter dijaga 1-2 orang petugas, satu orang sebagai kasir, yang lain bagian menggesek kartu elektronik untuk membuka portal yang biasanya dilakukan sendiri oleh penumpang Trans Jakarta.

Mbak Kenek, eh, mbak Pramuwisata di bis Trans Jakarta :)
Mbak Kenek, eh, mbak Pramuwisata di bis Trans Jogja 🙂

Di dalam bis ada petugas lain yang akan memberitahu penumpang setiap kita akan sampai di tiap shelter. Di tiap shelter saudara-saudara! Redaksionalnya nyaris sama dan selalu mengikuti kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Tugas yang biasanya dilakukan oleh mesin perekam suara di moda transportasi umum negara-negara maju.  Contoh kalimatnya seperti ini ,”Sebentar lagi kita akan sampai di shelter Tugu, siapa yang akan turun di shelter Tugu silahkan siap-siap turun. Dan bagi yang akan melanjutkan perjalanan ke A, B, C (disebutkan) dapat pindah jalur dari sini.” Lalu ,”Jangan tinggalkan barang bawaan Anda, hati-hati, selamat jalan.”  Fungsinya seperti kenek, tapi berpakaian rapi, wangi, sopan, dan intelek karena informatif dan pakai EYD.

Running text ini seperti GPS, menginformasikan lokasi bis saat itu.
Running text ini seperti GPS, menginformasikan lokasi bis saat itu.

Padahal di dalam bis juga tersedia running text yang menjelaskan lokasi bis sepanjang perjalanan, semacam GPS gitu. Mungkin karena kultur dilayani atau dianggap masih banyak yang buta huruf? Entahlah.

"Yang ini kualitas nomer satu mbak, kalau luntur tambah bagus," Pramuniaga toko Soenardi, Psr. Beringharjo.
“Yang ini kualitas nomer satu mbak, kalau luntur tambah bagus,” Pramuniaga toko Soenardi, Psr. Beringharjo.

Pukul 14.30 pasar masih ramai. Di selasar depan berbagai macam barang jualan digelar. Mulai pakaian, mainan, buah, makanan kering, hingga warung yang menjual gudeg, pecel, sampai kelelawar panggang/goreng. Melipir ke dalam jualannya didominasi produk fashion. Seorang teman menyarankan njujug Batik Soenardi, lorong ketiga di kiri lorong utama.  Selain harga pas (bagi yang tidak suka bargaining challenge), model dan kualitasnya sudah pilihan. Tapi kalau mau murah dan – menurut saya – juga bagus dengan model standar, belanja saja di lapak-lapak sepanjang jalan utama.

Pembatik, sebetulnya pura-pura saja sih, hehe... di salah satu sudut Mirota lt.1.
Pembatik, sebetulnya pura-pura saja sih, hehe… di salah satu sudut Mirota lt.1.

Pukul 16.00 pasar tutup. Kami beralih ke sentra jajanan bakpia pathok yang dapat dijangkau dengan naik becak 5000 rupiah. Setelah melewati gang dan jalan-jalan sempit becak berhenti di depan toko bakpia pathok “73”. Jadi ingat tape Bondowoso yang penamaannya sesuai dengan nomor toko. Dari sini kami ke Mirota menumpang becak yang sama. Mirota ini cocok bagi yang ingin menghirup lebih dalam atmosfer budaya Jawa dan belanja barang-barang etnik. Banyak yang bisa diceritakan tentang Mirota, tapi malas ngetiknya, hehe… Lebih lengkap tentang Mirota bisa dibaca disini.

Kami kembali ke hotel di Kaliurang dari shelter tempat kami turun tadi. Dari sana menumpang Trans Jogja jalur 3A sampai shelter Ngabean dan dilanjutkan jalur 3B sampai kaliurang turun di tempat pemberhentian dekat hotel Vidi. Memang tidak boleh berhenti sembarangan sih. Selain karena sudah peraturan, pintu bis tidak ada undakannya, tinggi banget. Rute jalan-jalan murah naik Trans Jogja bisa dilihat disini.  Sedikit tambahan, Trans Jogja beroperasi mulai pukul 6.00 sampai 22.00.  Ok, selamat jalan-jalan 😀

Catatan dari Yogya

Melanjutkan tulisan sebelumnya, akhirnya kami berangkat juga.  Hanya biaya hotel yang diminta untuk sharing.  Demi efisiensi, begitu kata pak Heri bagian keuangan universitas.

Day 1, Minggu

Random...
Random…

Berangkat dari Malang pukul 8.00, tiba di stasiun Tugu persis pukul 15.00.  Berdua saya dan Fina sama-sama buta medan, eh, Yogya ding.  By the way, mana tulisan yang betul, Yogya, Jogya, Jogja, atau Yogja???

Kami menginap di Ishiro karena satu pertimbangan, lokasinya paling dekat dengan venue.  PP jalan kaki sama dengan hemat ongkos transport.  Sore harinya, sembari survey lokasi layaknya anak lulusan SMA mau SNMPTN, kami nyoba makan malam di “Rempah Asia” jalan Kaliurang yang menawarkan masakan Malaysia dan Thailand.  Pilihan menunya banyak, tapi harganya masih lebih murah “Uncle Husin” yang ada di Jalan Sigura-gura Malang.

Day 2, Senin

Refreshing kuliah biomolekular, dogma central.  Pematerinya luar biasa dan materinya menarik.  Isu penting: Personalized medicine.  That’s me! Ayo semangat! *bawapompomsambillompatlompat.  Isu lainnya: micro RNA (miRNA).  Otak langsung loading, cari koneksi antara HLA dan miRNA.

Malamnya jalan-jalan ke Mirota.  Sebagian fotonya sudah tampil disini.  Di Mirota dapat satu set mainan bekel, gantungan kunci Rama-Sinta, dan gelang etnik.  Karena sampai hotel sudah capek dan terlalu malam, efek sampingnya adalah malas makan dan malas mandi.  Zzzz…

Pesan hari ini dari mekanisme DNA repair:  Melakukan kesalahan itu lebih mudah daripada menjadi baik atau bertahan menjadi baik.

Day 3, Selasa

Sitogenetik dan praktikum biomolekular.  Kehujanan pas pindah gedung.  Mestinya lewat lorong antargedung yang bebas kehujanan.  Trus, mulai ngumpulin kue jatah coffee break pagi dan sore untuk makan malam.  Ini berhemat untuk survive apa memang dasarnya pelit ya? Gak jelas 😀

Pesan hari ini: Jaga dan rawat baik-baik apa yang kita miliki (a.k.a. DNA)

Day 4, Rabu

Berangkat udah telat, apalagi nyampainya.  Mencoba jalan pintas lewat kompleks fakultas geografi dan biologi.  Hmm, berjalan di kampus UGM serasa berada di kebun raya.  Hari ini ada salah satu materi kuliah yang ditunggu-tunggu, ‘peranan biomolekular dalam terapi’ oleh Prof.Mustofa.  Trus, lanjut praktikum sampai sore.

Pesan hari ini: ‘Perempuan~DNA mitokondria; Laki-laki~DNA inti’.  Kok? Penjelasannya panjang, kalau mau tau boleh bikin janji buat les privat.

Day 4, di taman depan Gd. Radiopoetro tempat praktikum.
Day 4, di taman depan Gd. Radiopoetro tempat praktikum.

Uaheem, beberapa hari ini tidur menjelang pagi. Tenaga dan pikiran nyaris terkuras. Masih ada tiga hari lagi. Besok sampai Sabtu bakal berakrab-akrab dengan imunologi yang makin kita masuk ke dalamnya berasa masuk ke hutan lebat tak bertepi. Trus, semaknya setinggi tubuh kita. Mesti ekstra hati-hati saat menetapkan arah langkah. Ganbatte 🙂

Day 5, Kamis

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, it’s will be the hardest part.  Kurang tidur plus materi yang njelimet merupakan pasangan serasi yang bikin otak mendidih.  Aargh… 😦 Tapi, untunglah pematerinya baik hati dan sabar, agar kita tetep toleran dan tidak terjadi reaksi resistensi dengan materi yang disajikan *imunbanget.

Pesan hari ini dari topik imunologi adalah kerja itu mesti jama’ah dan dalam organisasi yang baik.

Day 6, Jum’at

Masih imunologi, wa bil khusus MHC dan HLA.  Lanjut praktikum sampai sore, as usual.  Iya memang bener… hari ini tenaga dan pikiran terkuras, makan siang pun tak tersentuh, gak selera sama sekaliii.  Sampai di hotel nawaitu tidur sampai pagi.  Besok post test.

Hari ini pesannya, sehat itu lebih penting daripada maksa duduk di depan kedinginan kena AC 😦

Day 7, Sabtu

Hari terakhir.  Praktikum, penutupan, dan belanjaaaa… Ahay, sebetulnya ndak niat-niat banget belanjanya.  Tapi karena teman seperjalanan ngajak, ya hayuuk ajah, hehe… Karena hari masih siang, pukul 14.00, masih nututi ngubek Pasar Beringharjo.  Kemudian ke pusat jajanan bakpia dan ke Mirota sekali lagi.  Pukul 19.00 kami sudah sampai hotel untuk berkemas pulang menumpang Malioboro pukul 22.15.  Di gerbong 1, kami membayar lelah dengan tidur pulas sampai menjelang Malang pukul 5.30.

Pesan hari ini, kapan-kapan harus ke Yogya lagi 😀

Penjaliran Barat Island in Memoriam

29 Juli – 2 Agustus 1996
(by The Sixteam)
Kak Yasman, Alloy, Ipul, I’im, Dogun, Inong

Prolog:
Tulisan ini dibuat 18 tahun yang lalu dan dipublikasikan sekarang dengan mengedit beberapa bagian yang perlu tanpa mengurangi kisah di dalamnya.

The longest magic stamp

Bukan karena apa-apa sih kalau pasukan dari ESKA nge-fans berat dengan Hero Pasar Swalayan hampir di tiap moment belanja, melainkan karena dara-dara manis dari ESKA ini sedang berburu magic stamp yang menjanjikan rabat 50% untuk pembelian sebuah panci kaca tahan panas berwarna pink (panci berpenampilan agar-agar). Selain itu juga, konon stok barang di tempat perbelanjaan tersebut selalu baru dan terbaik.
Bersama Dogun sebagai sopir (maaf ya Don, hehe), de’ Lia, dan kak Medis yang entah bagaimana ikut terangkut sebagai partisipan, Inong dan I’im ber-Saturday Night Fever di Hero Depok. Keranjang bukan pilihan lagi. Akhirnya sebuah troli diseret dari tempat mangkalnya dan perburuan dimulai. Mulai dari berbagai jenis mie instant, cokelat batangan, kornet, macam-macam biscuit (pakai ‘c’), buah-buahkan, hingga pernak-pernik salad, dan perlengkapan mandi seperti sampo dan sabut terangkut semua memenuhi troli kami. Sehingga tidak heran, jika bon yang tercetak merupakan bon terpanjang yang pernah kami miliki. Akibatnya, tak mengherankan bila 14 magic stamp berhasil didapatkan dengan sukses. Karena Inong hanya perlu tambahan 5 lembar magic stamp, 9 lembar sisanya ditransfer ke Dogun untuk dipersembahkan pada bundanya.

The smallest team

Hari Senin yang ditunggu tiba juga. Dengan diantar segala do’a dari penghuni ESKA lainnya, mulai do’a tolak bala sampai do’a bercermin (eh…?), dan berbekal perabotan rumah tangga mulai piring, panci, hingga kompor andalan yang hanya satu-satunya (itupun dengan kondisi sumbu yang memprihatinkan) karena Dogun tidak berhasil berburu paraffin, tepat pukul 7.30 kami menumpang Kijang dinas ortunya Dogun disertai pak Surono sebagai sopir melaju menuju pelabuhan Muara Karang.
Mampir di BNI’46 Muara Karang untuk ambil uang. Wah, bank-nya masih tutup, padahal sudah pukul 8.30. Alkisah, bank ini memang nyaris bangkrut atau berencana pindah lokasi lantaran bersaing ketat dengan bank-bank swasta di sekitarnya. Jadi pegawainya pun males-malesan kerja. Padahal menurut penjaga toko listrik disebelahnya, kemarin-kemarin bank ini buka jam 8.00. Dasar kita aja yang lagi apes. Sementara itu, Inong sempat ngomel-ngomelin acara olimpiade semalam yang berhasil merubah jam biologis rakyat Indonesia. Siang jadi malam, malam jadi kalong. Kita lanjutkan kisah bank tadi. Pukul 8.40 akhirnya Dogun berhasil tarik tunai di bank itu. Menurut dia, baru kali itu dia ngambil duit pas banknya baru buka, malah nyaris bantuin beres-beres ya Don, hehe…
Perjalanan dilanjutkan. Setiba di Pelabuhan Muara Karang, pos penjagaan masih sepi. Seharusnya kloter pertama sudah sampai nih. Akhirnya dengan sedikit spekulasi dan meninggalkan pesan kepada penjaga pos, kalau-kalau ada sisa rombongan yang mencari kami, kami masuk ke wilayah pelabuhan dengan membayar retribusi sebesar 500 rupiah/orang. Tiba di dalam, ternyata rombongan dari jalan Pramuka, Alloy yang ditemani ibunya, Ipul, dan Iqbal sudah stand by. Konon sih katanya setelah berhasil menembus barikade bersenjata yang memblokir daerah dekat rumah akibat kerusuhan yang diakibatkan pertikaian antargeng di kubu PDI (Saat itu sedang panas-panasnya perpecahan ideologi di kalangan PDI yang nantinya menghasilkan PDI dan PDI Perjuangan.red).
Barang-barang perbekalan diturunkan dan peserta di-list. Ternyata Iqbal tidak jadi ikut, padahal dia termasuk kandidat utama peserta trip ini. Tujuan beliau hadir hanya untuk menghimbau Dogun – utamanya – untuk hadir di rapat AIM siang itu, AIM adalah event ilmiah mahasiswa FMIPA-UI. Undangan yang dengan tegas langsung ditolak oleh ybs. Sementara itu, DBB (Dua Bidadari Badung, I’Im dan Inong) yang entah kenapa tersangkut dalam perjalanan ini, berusaha dengan sekuat tenaga mengkooptasi Iqbal untuk ikut serta. Karena alasannya tidak bawa baju, maka I’im dengan sukarela menawarkan dasternya untuk dipakai beliau selama di pulau nanti. Dan tawaran tersebut, seperti yang telah kita duga bersama, ditolak mentah-mentah dengan alasan warnanya tidak cocok, eh…
Jadi, akhirnya, dari pendaftar awal sebanyak 16 orang, ternyata yang menyatakan bersedia ikut hingga detik-detik terakhir keberangkatan hanya 6 orang. Yang lain kena seleksi alam. Misalnya Tegus yang dengan semangat ’45 ingin ikut dan sempat mengusung sebuah judul penelitian tentang jenis-jenis Gastropoda Bakau di Pulau Penjaliran Barat, ternyata harus menghabiskan hari-harinya hingga sepekan di lab. Mikrobiologi, bilik kecil tempatnya menyerahkan diri. Pi’I juga berhalangan karena harus mendampingi adiknya yang sedang berjuan ikut tes masuk FKM-UI. Dan yang menyedihkan, Mardo’I sakit, serta lain-lain hal yang menyebabkan peserta lain mengundurkan diri. Akhirnya dengna rasa setengah tidak percaya, ternyata kami berenam berangkat juga, setelah tidak lupa terlebih dulu membeli alat pancing-memancing di pelabuhan. Jadilah kami The Sixteam, tim terkecil dengan persiapan seadanya. Demikian komentar seorang peserta yang merangkap peneliti, Alloy. Unbelievable. Sementara itu, The Commander, Kak Yasman, hanya berkomentar,”Jangan dibahas lagi soal itu.” Ups, haha… iya deeeh. Ok, we’re ready to go, whatever will happen.

Perjalanan dimulai. Pukul 10.00 kapal motor Komala Jaya mulai meninggalkan dermaga dan melaju dengan tenang mengarungi perairan Kepulauan Seribu.
Di geladak kapal, Dogun setia membaca makalahnya The Commander. Sementara itu di badan kapal ada sate, nasi, roti punyanya I’im, ubi plus gorengan lainnya, salak, dan I’im yang sedang bersusah payah mengeluarkan kaset dari walkman Dogun. Sedikit catatan, bahwa tutup walkman itu ngadat lantaran pernah dibuka paksa oleh Nope pas Halimun part-3. Melihat I’im yang sedang asyik masyuk mendengarkan musik, akhirnya Inong gak tahan ingin ikutan. Susah juga lantaran headphone Dogun bukan jenis yang kecil. Tapi dengan segala akal bulus, akhirnya headphone itu berhasil dibagi dua. So, DBB ini jadi ndengerin Take a Bow-nya Madonna bareng-bareng.

Menjelang Pulau Rambut, kami disambut serombongan pecuk padi dan Sterna hirundo yang melintas anggun.

10.30: (by Inong)
Dara laut itu sendirian,
Menukik lembut di tengah lautan,
Membentang dan mengepak indah,
Dara laut itu putih, dialun angin laut.

(10.46)
Komala Jaya terhenti di dekat Pulau Onruzt setelah terasa ada yang tidak beres dengan kemudi. Rupanya baling-baling kapal menabrak sesuatu. The Sixteam terombang-ambing di atas kapal, sementara itu Pak Tamam, sang nakhoda, buru-buru terjun dan berusaha melepaskan sesuatu yang nyangkut di bawah. Ternyata karung plastik. Tidak berapa lama kapal melaju lagi.

(14.00)
Mampir di Pulau Pramuka, menjemput Pak Rudi yang menggantikan Pak Jack yang akan memandu kami di Penjaliran nanti. Kabarnya Pak Jack yang sudah kami kenal baik itu sedang ikut kursus atau pelatihan apa gitu di Jakarta sehubungan dengan tugasnya sebagai jagawana. Sekarang nungguin Pak Salim. Rencananya kami bakal mampir lagi di Pulau Panggang. Dermaga Pulau Pramuka masih seperti dulu sewaktu kami mampir dalam perjalanan studi ekskursi yang lalu. Minimal masih terdengar sambutan Todirhampus chloris yang hilir mudik dari garis pantai ke rimbunan Thespesia populnea di dekatnya.
Ups, sedang lapar berat nih. Di atas kapal sedang terjadi serah terima nasi goreng dengan telur dadar kebanyakan kucai dari Alloy ke yang lin dan tanpa segan-segan diserbu oleh Kak Yasman, Dogun, dan I’im. Full tank bo’… Oo, rupanya Ipul dan Kak Yasman move, pindah ke menu nasi putih plus ebi kering dan kering tempe (makanan kebangsaan kalau di lapangan). Tentang ebi kering ini, sempat dikira makanan ikan oleh Inong, sehingga dia dengan penuh semangat nyobain pancing baru di dermaga Pulau Pramuka dengan umpan ebi kering. Sambil makan, Kak Yasman cerita-cerita tentang orang Jepang yang pernah diusir Pak Jack lantaran MCK di dermaga. Kurang jelas, hajat apa yang dilepaskan orang tersebut saat itu. Sementara Alloy menyumbang cerita tentang biawak di Penjaliran.

Kak Yasman dan Ipul, nyoba alat pancing di kapal yang sedang labuh.
Kak Yasman dan Ipul, nyoba alat pancing di kapal yang sedang labuh.

Perjalanan berlanjut, kapal kami mampir Pulau Panggang mengantar surat. Demi menambah perbendaharaan pulau yang pernah disinggahi, I’im dan Inong buru-buru turun ke darat, nyambi beli rujak dan es. Cuacanya puanas banget dah. Selama sisa perjalanan kebanyakan dari kami berniat untuk menggeletak di geladak dan tidur. Pukul 15.00 I’im bangun tidur dan meraih primbon untu diisi wejangan-wejangan baru (catatan perjalanan.red). Rupanya Pulau Putri yang ingin dilihatnya sudah terlewati dan sepertinya 30 menit lagi kami akan tiba di Penjaliran. Tiba-tiba di sisi lambung kiri dan kanan kapal tampak serombongan ikan terbang, berkilauan dan salto di atas air. Seru kan. Dogun buru-buru ngambil kamera, tapi ikannya keburu males salto, Dogunnya kelamaan sih. Cuaca yang panas dan perjalanan panjang membuat kami didera bosan karena hanya melihat laut dan laut. Kompensasinya kita adakan acara adu teriak. Dan seperti yang telah kita duga, pemenangnya adalah The Commander. Indikasinya, pas beliau teriak, Ipul yang sedang tidur pulas sampai terbangun dan nakhodanya sampai nengok ke belakang dikira ada yang kecebur laut. Acara paling seru adalah membuka bekal black forest buatan I’im. Entah karena makannya di kala super lapar atau super bosan, si pembuatnya sendiri sampai baru menyadari bahwa kue buatannya itu uenak. Aduuh, tahu gitu bakal diabisin sendiri aja dah, hehehe… untung baru nyadar.

Suasana mbuka bekal di kapal,"lapeeeeer...."
Suasana mbuka bekal di kapal,”lapeeeeer….”

Akhirnya sampai juga kami di Penjaliran Barat. Diambut jagawana pulau itu, The Sixteam mulai menurunkan dan mengusung perbekalan menuju basecamp. Kami tidak perlu memasang tenda karena disini disediakan bangunan permanen sebagai tempat tinggal peneliti, dan pelancong, hehe… Tidak kurang dari 4 galon Aqua dan berbagai jenis makanan berat dan ringan segera pindah tempat. Baris rapi di ruang depan basecamp siap di transfer ke perut. Hmm… lapar berat nih. Tercengang bercampur takjub juga melihat perbekalan makan kami yang diatas rata-rata kalau sedang ke lapangan ini. Sampai bingung, bagaimana cara ngabisinnya ya? Sebagai bukti, kami sempat mengabadikannya lho, diantara sinar petromak kurang minyak yang sebentar-sebentar mesti dipompa lantaran kaos lampunya sudah jelek. Makan malam di gazebo bareng-bareng. Paket makan malam pertama cukup mie dan kornet dulu. Kemudian pukul 21.43 kami berkumpul di dermaga, di bawah pancaran bulan yang nyaris purnama. Maksudnya untuk brifing kerjaan besok pagi, bagi-bagi tugas, tapi rata-rata pada keluar romantisnya, nyanyi-nyanyi yang gak karuan juntrungannya mengeluarkan segala koleksi lagu-lagu nostalgia SMP dan SMA.

(22.18) Brifing usai.

(22.15)
Ada purnama dan pantulan keemasan pada garis zenith,
Siluet kapal nelayan dan tiang-tiangnya menganyam malam,
Dasaran pantaiku menarikan kumpulan lamun,
Menawarkan selarik baik angan dan khayalan.

(Nostalgia dermaga Pulau Karang Beras)

Bulan bergulir ke Barat,
Dipeluk mendung,
Dikitari gemintang.
Bulan kian surut dari pandangan,
Menabik malam,
Menggelar langit kelam kebiruan,
Aku kecil di hadapan-Mu.

Hari pertama

Setelah makan pagi yang kesiangan, hari ini kami bergegas mengambil sampel di selatan, barat, dan utara. Sarapan nasi goreng. Walaupun kompornya males-malesan bagai nyala lilin, tapi kami nekat juga. Akhirnya Pak Satim yang tidak sabar menunggu 3 bulan lagi untuk bisa sarapan nasi goreng turun tangan menyediakan tungku di samping basecamp. Jadilah acara masak yang bersimbah air mata. Tapi dasar tidak kurang akal, Dogun sempat menyambar google (kacamata renang) untuk kmenghindari asap yang memedihkan mata. Eh, nasgornya asyik punya lho, bertabur irisan sosis dan daging. Sarapan ditemani air kelapa muda yang dagingnya manis sangatlah mengesankan.
Menjelang tengah hari, Kak Yasman yang berencana mengambil sampel pas kondisi laut surut terendah buru-buru pergi ke hutan bakau sebelah utara pulau ditemani Pak Rudi dan Ipul. Sementara tim plankton memulai perjalanan keliling pulau dengan menumpang Komala Jaya berbekal perabotan lenongnya lab.ekologi untuk mengambil data abiotik buat tugas akhirnya Alloy. Peserta tim ini adalah Alloy, Inong, I’im, dan Dogun serta seperangkat camilan. Titik selatan sukses terambil, tiga kali pengambilan untuk setiap titik. Inong dan I’im sibuk berkutat dengan kegiatan perplanktonan. Meninggalkan sisi utara pulau, ombak mulai mengalun karena posisi kapal sudah dekat dengan off-shore yang mengindikasikan adanya laut dalam. Mual mulai terasa. Untung ada kulit jeruk yang minyak atsirinya bisa menjadi obat pereda mual.

Setelah sekitar 1 jam mengelilingi pulau dan sempat dadah-dadah pada tim bakau di sisi utara pulau, kami pun merapat di dermaga. Rencananya sih menyusul Kak Yasman mbantu ngambil sampel, tapi lelah masih menggayuti tubuh – terutama lantaran menahan mual sepanjang jalan, eh laut tadi – sehingga diputuskan lebih baik menyiapkan makan siang untuk dikirim ke para pencari kerang yang tengah berjuang di sisi utara pulau. Menu makan siang yang disepakati anggota ‘PH Club’ adalah salad dan sup jagung kalengan untuk mendapatkan suplai sayur. Itupun kami masih sempat nggoreng krupuk dan membuka persediaan buah kalengan. Menurut I’im, semua selera menyatu di Penjaliran, kecuali selera Ipul. Ternyata susunan menu ini masih dianggap ajaib oleh Ipul yang notabene belum pernah melihat tampang salad dan masih merasa asing dengan cita rasa mayonais. Sementara itu para member ‘PH Club’ dengan serta merta menyantap menu yang tersaji. Masih ditemani mie instant dan air kelapa muda sebagai alternatif. Ketidaksukaan Ipul terhadap salad disambut bahagia anak-anak ‘PH Club’, I’im, Dogun dan Inong. Lumayan dapat jatah lebih. Di pulau terpencil begini, sesendok tambahan jatah makan amat sangat berarti untuk memperpanjang hidup. Alloy ternyata penyuka salad juga, sementara Kak Yasman mencomot sedikit saja, takut dibilang tidak toleran kali. Sedangkan bapak-bapak jagawana juga antisalad, seperti Ipul.

Pesta kelapa muda di dermaga. Thanks to bapak jagawana *gamungkinmanjatsendiri.. hahaha
Pesta kelapa muda di dermaga. Thanks to bapak jagawana *gamungkinmanjatsendiri.. hahaha

Sore hari diisi kegiatan rekreasi. I’im, Dogun dan Inong segera mencari tempat strategis untuk menikmati pemandangan pantai. Selain itu juga, kali aja Dogun mau motret makhluk-makhluk manis ini. Akhirnya kami menemukan batang Casuarina equisetifolia tumbang yang bisa dijadikan mainan jungkat-jungkit. Setelah bosan jungkat-jungkit, kegiatan dilanjutkan dengan mengumpulkan remis dan kulit kerang di sepanjang pantai. Berdasarkan pengalaman di Pulau Pari, remis ini enak dijadikan lauk makan atau dicemil setelah direbut terlebih dulu. Kerang imut berwarna putih ini banyak sekali dijumpai di sepanjang pantai.

3 pemain, Dogun vs DBB
3 pemain, Dogun vs DBB

 

5 pemain,"ndak imbaaang..."
5 pemain,”ndak imbaaang…”

 

6 pemain,"horeee, seimbang..." :D
6 pemain,”horeee, seimbang…” 😀

Terancam bahaya kelaparan

Malam harinya tidak ada yang istimewa kecuali adanya indikasi bahan makanan yang kian menipis sehingga masing-masing awak dianjurkan mulai berlatih memancing, mencari bahan makanan untuk esok hari. Sementara malam ini – seperti malam-malam sebelumnya – kami mendapat sumbangan ikan bakar dari para jagawana. Sebenarnya takjub juga kami melihat begitu cepatknya bahan makanan menyusut karena pada hari pertama kami justru bingung bagaimana cara menghabiskan makanan sebanyak itu.

Belum kehabisan bekal, masih bisa nyengir senang... :D
Belum kehabisan bekal, masih bisa nyengir senang… 😀

Sesudah makan malam kami rendezvous di dermaga karena bulan semakin purnama dan kami tidak ingin melewatkan keindahannya begitu saja. Tentu saja sambil membicarakan kemungkinan terburuk seandainya saat kita pulang nanti ternyata RI sudah berganti menjadi negara PDI gara-gara kerusuhan kemarin. Maklum, tidak seorang pun diantara kami yang membawa radio, sehingga kekhawatiran itu masih ada. Siapa tahun nanti kami tidak boleh merapat di Jakarta dan kena deportasi sehingga menjadi penghuni tetap pulau ini. Tapi ternyata kerusuhan sudah mereda, demikian berita yang disampaikan oleh para jagawana yang punya radio. Karena lelah, beberapa dari kami tertidur di dermaga. Begitu terbangun mereka pindah ke basecamp. Yang tertinggal di dermaga adalah Ipul, Inong, dan Dogun. Sementara itu, lokasi nongkrong sudah bergeser di atas kapal yang merapat di dermaga karena pasang purnama. Ipul masih sibuk dengan pancingnya yang bolak-balik memancing ikan sejenis. Akhirnya ikan tersebut kami nobatkan sebagai ‘ikan bodoh’. Inong yang benar-benar pemula dalam hal pancing-memancing lumayan puas dengan hasil 4 ekor ikan sersan mayor yang menurutnya lebih cocok menjadi penghuni akuarium daripada penghuni perut karena warna sisiknya yang indah, garis-garis biru kehijauan. Dan memang terbukti di kemudian hari, ternyata rasanya agak-agak pahit.

Purnama semakin naik. Di seberang kami tampak beberapa kapal nelayan yang istirahat merapat di perairan sekitar pulau. Kapalnya terombang-ambing perlahan dialun riak pantai yang sedang pasang. Sementara itu sayup-sayup terdengar Meggy Z mendendangkan hitsnya – yang di kelak kemudian hari menjadi sangat terkenal dan mendapat beberapa penghargaan untuk kriteria lagu dangdut –. Tanpa sadar, Ipul ikutan bersenandung. Ah, gak nyangka kalau Ipul penggemar dangdut. Masalahnya itu lagu masih benar-benar gres, kalau bukan penggemar, biasanya belum familiar. Lama kelamaan angin yang bertiup semakin kencang dan kami jadi masuk angin. Akhirnya Ipul mengundurkan diri dari kompetisi memancing di bawah sinar bulan purnama ini dan bergabung dengan makhluk-makhluk yang sudah molor duluan di basecamp. Dogun dan Inong pun pindah tempat ke bangku di samping gazebo sebelum akhirnya makin merapat ke teras basecamp menghindari terpaan angin laun yang kian kencang. Satunya nongkrong di atas kursi, satunya melantai saja di teras. Agendanya cerita seru tentang masa kecil dan kisah-kisah kucing peliharaan sambil haha-hihi kalau ada yang lucu. Mula-mula sih ngomongnya pelan, kuatir yang udah molor jadi kebangun, tapi lama-lama keluar juga cablaknya (begitu menurut penuturan I’im, yang diam-diam nguping, hahaha). Akhirnya karena sudah lewat jam malam, mata jadi gak ngantuk lagi. Tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 2.30, akhirnya mereka bubar dan menyelinap di balik sleeping bag masing-masing walaupun masih harus berjuang memejamkan mata. Rasanya baru bisa tidur setelah lewat pukul 3.00.

Biawak hunter

Aslinya sih yang hunting bukan kita-kita, mana berani lah ya, lagian buat apa? Uji nyali? (alasan sih, karena takut aja). Para jagawana dan nelayan itu yang punya gawe. Ternyata di Penjaliran, kami hidup berdampingan dengan binatang melata tersebut. Kadang-kadang jagawana di situ membuat perangkap dan kalau dapat biawak dagingnya dimakan kali ya (?).

The commander,"Gini lo, cara megang biawak."  I'im,"Iiih, aku nyolek aja deh...atuuuut."
The commander,”Gini lo, cara megang biawak.”
I’im,”Iiih, aku nyolek aja deh…atuuuut.”

Ceritanya, pagi-pagi kami (kecuali Inong yang masih bergelung manis di sleeping bag) memulai hari dengan mancing dan sesi pemotretan. Duh, si Inong pasti nyesel setengah mati melewatkan sesi pemotretan ini. Dan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, mancing kali ini bukanlah kegiatan iseng karena krisis makanan yang sedang terjadi. Mula-mula I’im selalu bertindak sebagai dermawan pemberi sarapan ikan-ikan di dermaga. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan makan-makan kelapa muda. Entah sudah berapa butir kelapa yang berpindah ke perut kami, yang jelas kami tidak manjat sendiri tapi karena belas kasihan para jagawana dan nelayan yang melihat kami belum sarapan hingga agak siangan. Kegiatan mancing berlanjut dan akhirnya setelah umpan diganti dengan sejenis timun laut, I’im berhasil mendapatkan seekor ikan sersan mayor (ikan bodoh) untuk yang pertama dan terakhir kalinya karena Kak Yasman dan Dogun sudah rebut minta makan pagi (yang kesiangan). Sementara makanan sedang disiapkan, Dogun dan Alloy yang dinobatkan sebagai pasangan serasi sedang sibuk motret sample koleksi avertebrata tangkapan Alloy, termasuk nudibranch yang ditemukan Kak Yasman di laut dalam. Pokoknya hari itu diisi dengan istirahat dan bersenang-senang deh. Main jungkat-jungkit lagi setelah makan siang sampai-sampai I’im sempat jatuh dan lebam-lebam, yang lebamnya lama hilang ya Im. Malam harinya sih ingin nongkrong lagi di dermaga. Tapi lelah di badan mengalahkan segalanya. Akhirnya sore-sore sudah pada bobok sekalian mengumpulkan tenaga untuk perjalanan pulang besok pagi.

Senja di dermaga.
Senja di dermaga.

Berkemas pulang

Sedih juga ya bahwa akhirnya kami mesti meninggalkan pulau ini bersama semua kenangannya. Jakarta sudah aman, jadi tidak ada alasan bagi kami untuk tinggal disini lebih lama. Setelah berfoto-foto sejenak dengan berbagai gaya akhirnya kami kembali berada di lambung kapal yang akan membawa kami ke pelabuhan Muara Karang. Kegiatan ibu-ibu memang tidak jauh dari belanja. Di Muara Karang spontan saja I’im dan Inong tergiur oleh penampilan cumi-cumi gendut yang dijual 5000 sekilo. Akhirnya berpindahlah 3 kilo cumi-cumi gendut dari tangan penjualnya ke kantong belanjaan kami. Problem lagi nih, di ESKA kan gak ada kulkas, alhasil sebagian besar cumi-cumi itu berpindah ke tangan Dogun dengan disertai pesan,”Don, kalau sudah mateng jangan lupa anak-anak ESKA dikirimin”. Di kemudian hari ternyata pesan itu terlupa begitu saja sampai cumi-cuminya licin tandas di meja makan keluarganya. Hiks.. Tidak lupa juga beberapa ekor untuk cumi-cumi untuk Ipul, dan dengan curangnya kita sudah milihin yang kecil-kecil buat dia disertai pesan bahwa itu tidak gratis, sampai Ipul sibuk merayu-rayu agar digratisin saja buat dia, hehe..

Akhirnya kami berenam berpencar sesuai tujuan akhir masing-masing. Alloy dijemput orangtuanya, Ipul menumpang angkutan umum kearah rumahnya di Priok, sedangkan yang lain tim Depok menumpang kendaraan seperti biasa. Ke stasiun Jakarta Kota naik KRL arah Depok, dari stasiun Depok naik 04 ke Kukusan. Sebelumnya Inong sempat menodong para anggota The Sixteam untuk menuliskan kesan-kesan selama kami bersama-sama (kecuali Dogun yang tulisannya sudah diyakini tidak bakalan bisa diterjemahkan, lagian dia sudah ngerti sendiri kok, buktinya dia menolak setengah mati pas ditodong nulis, hehe..). Kalau I’im tidak usah nulis kesan pesan lagi karena selama ini sudah mbantu tersusunnya catatan perjalanan ini dengan kisah harian di primbonnya. Berikut ini adalah kesan-kesan tersebut, mulai kesannya The Commander yang mengharu biru, Ipul yang kebanyakan ketawa ketiwi serta cengiran yang tidak jelas serta pesan penuh titik-titik kayak di kertas soal ujian, hingga Alloy yang sangat terkesan dengan kebersamaan ini (ehm.. ehm..). Semua ini dituliskan kembali seperti pesan aslinya:

Tour ke Penjaliran Barat:
Saya nggak percaya akhirnya tour ini bisa berjalan dengan baik. Walau cuma dengan 6 orang saja. So.. sudah sepatutnya aku bersyukur pada Allah dan juga terima kasih yang tak terhingga pada teman-temanku: Alloy, Ipul, Nana, Ima, dan Donny.
Thanks for all,
Yasman

2-08-96
Ehm.. ehm.. ehm..
14.47 sore, gue berenam nyampe di pelabuhan , setelah 5 hari, 4 malam di Penjaliran Barat, gue juga nggak percaya bisa berangkat, tapi buktinya gue bisa kembali..
3 pria, 3 wanita itu telah kembali..
Gue nyadar, sejarah tak-kan bisa terulang.. makanya gue manfaatin kesempatan ini sebaik-baiknya and tentunya nggak bisa gue lupain.. he.. he.. he
14.51
2/08/96
I.V.O.E.L

Buat: Yasman, Ipul, Risma, Nana, Dogun.
2/8 ‘96
Penjaliran barat..
3x ke sana, perasaannya nggak pernah sama.
Yang pertama..
Dihempas ombak, hujan, dan angin.
Yang kedua..
Capek berat, kerja keras tiap hari.
Yang ketiga..
Yang ketiga ini sulit dipercaya! Tim terkecil dengan persiapan seadanya.
Tapi, semua berkesan dan meninggalkan kenangan manis..
Masih ingat salad+mayonnaise vs. Ipul? Masih ingat acara-acara mancing dan dapet ikan sersan? Masih ingat kita merasa kelebihan makanan tapi akhirnya kekurangan?
Banyak sekali kenangan selama di Penjaliran. Terima kasih ya.. buat semua kenangan itu!
(Alloysia.M.S.)

Ahem.. ahem..
Secara umum, menurut laporan pandangan mata semua kegiatan memberi kesan amat sangat menyenangkan. Apalagi personil-personilnya kompak sangat menunjang untuk itu. Walaupun kedatangannya untuk kegiatan yang serius, tetapi tetap santai (atau malah banyakan santainya, hehe). Tapi ada satu hal yang membuatku masih menyesalinya hingga kini. Yaitu tertinggalnya sampel-sampel plankton punyaku di pojok depan pintu basecamp. Padalah itu sampel aku harapkan bisa menjadi bahan pra-penelitian karena sudah diambil dengan cara seilmiah mungkin sampai dibela-belain ‘fly’ di atas perahu motor sambil sibuk mengendus-endus kulit jeruk (maksudnya biar nggak ‘fly’ lagi). Oh, sampelku yang malang.
Inong,

Epilog:
Laporan perjalanan ini dibuat berdasarkan ingatan dan catatan pengamatan harian di buku primbon milik Inong yang ditulis bersama dengan I’im selama kurun waktu 1996-1999 (lama ya..). Catatan ini diterbitkan dan didedikasikan untuk Alm. Ipul yang telah mendahului kami pada tahun 2011 y.l. Ipul, semoga amal baikmu menjadi lentera di di alammu kini.

Ki-ka: (berdiri) para jagawana dan Dogun, (duduk) Ipul, Yasman, Alloy, I'im, Inong.
Ki-ka: (berdiri) para jagawana dan Dogun, (duduk) Ipul, Yasman, Alloy, I’im, Inong. (through the courtesy of I’im)

Jakarta-Malang: Catatan Menuju Sabar #2

Akhirnya pesawat landing pukul 20.45.

Saya tertidur pulas di sepanjang penerbangan tadi dan baru betul-betul terbangun saat pesawat sudah berhenti sempurna dan Anda diperbolehkan melepas sabuk pengaman (kata mbak pramugari). Berjalan cepat menyusuri lorong kedatangan dan dengan mata terpicing masih mengantuk memilih travel tujuan Malang. Tawaran pertama dari seorang calo travel segera saya terima. Yang penting cepat sampai rumah dan terkapar lagi dengan manis di kasur.

Untuk perjalanan Juanda-Malang (kota) ini saya dikenai tarip 80 ribu – ini tarip standar Juanda-Malang — dan si Calo bilang travel akan berangkat 10 menit lagi. Transaksi beres.

Penumpang lain adalah seorang Ibu TKW yang baru pulang dari Hongkong. Hasil percakapan basa-basi dengan si Ibu: Ibu itu naik penerbangan langsung Hongkong-Surabaya menumpang Cathay Pacific, sudah tujuh tahun jadi TKW di sana, dan sangat terkejut saat tahu saya kena tarip 80 ribu karena dia harus membayar 250 ribu untuk jarak tempuh yang sama. Dengan setengah melotot (mungkin karena ngantuk juga) dan setengah berteriak (saya rasa karena lapar) Ibu itu memprotes ketidakadilan yang diterimanya. Pikir saya, ini pasti salah satu praktek nyata pemerasan terhadap pahlawan devisa negara di Indonesia. Mentang-mentang baru datang dari bekerja di luar negeri mereka menjadi ajang bulan-bulanan orang-orang yang ingin ikut mencicipi kesuksesan mereka tanpa susah payah.

Saya sudah bermaksud untuk mengompori si Ibu ini untuk demo dan protes ke mas-mas Calo tadi saat melihat ke bangku belakang yang tetap terlipat. Dan disanalah jawabannya. Ruang belakang dipenuhi oleh barang bawaan si Ibu. Koper ukuran terbesar, agak besar, sedang, kecil, dan berbagai bungkusan lain tertumpuk rapi disana. Ya pantas saja kena tarip untuk 3 orang plus 10 ribu jasa angkut. Ya sudah Bu, ini tarip wajar. Yang saya tidak habis pikir, bagaimana cara si Ibu membawa seluruh isi kamarnya ini selama perjalanan tadi. Ya tentu saja masuk bagasi, tapi kan pakai acara pindah tempat juga. Sakti juga si Ibu. Bumi dan langit dengan saya yang sedapat mungkin hanya membawa satu ransel kemanapun dan berapa lama pun saya pergi.

Si Ibu memilih bangku depan sehingga bangku tengah dapat saya kuasai. Niat tidur selonjor pun sudah tersusun di pikiran. Perjalanan malam ini saya harap bisa menjadi pengantar tidur. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sound system di mobil avanza hitam ini memperdengarkan lagu-lagu ala Gangnam Style “Ai lov it mufid mufid…” dengan volume maksimal! Mirip angkot kesurupan di siang hari. Untung saja sopirnya tidak keberatan saat saya minta mengecilkan volume. Mudah-mudahan ini bukan cara si Sopir mengusir kantuk. Karena saya lebih rela diajak disko selama kurang lebih 2 jam daripada tidak selamat sampai rumah gara-gara sopir ngantuk.

Ternyata masalah belum berakhir. Si Ibu meminta AC dimatikan, karena bisa mabuk gara-gara AC. Alhasil, jendela depan dibuka lebar-lebar dan angin malam menerobos kencang ke dalam kendaraan membawa asap truk, bis, dan kendaraan lain yang berkejaran di depan. Bukan dia yang mabuk malah saya yang kliyengan. Itupun belum mampu menyembuhkan mabuk si Ibu.

Mobil berjalan dengan kerja gas dan rem yang tidak sinergi. Gas dan rem berebut dulu-duluan diinjak. Selagi mobil melaju kencang, tiba tiba rem nyerobot maju. Begitu juga saat rem belum selesai sempurna, gas sudah mendahului. Saya menjadi ragu, jangan-jangan sopir ini dulunya pembalap gagal yang banting setir menjadi sopir travel. Kalau cara nyetirnya seperti ini tidak hanya si Ibu yang mabuk, saya juga harus siap-siap kresek. Duuh, sabar, sabaaaarr…. Tapi untungnya cukup si Ibu saja yang muntah-muntah sepanjang perjalanan. Saya bertahan tidak muntah karena muntah itu sama sekali tidak elegan.

Ngebut, ngepot, nikung... :(
Ngebut, ngepot, nikung… 😦

Akhirnya perjalanan Surabaya-Malang ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Masuk rumah pukul 10.30 dan berkemas sebentar untuk siap-siap… tidur! Karena batapapun enaknya tidur di kendaraan saya masih merindukan tidur di rumah. I miss my pillow… very much

Jakarta-Malang: Catatan Menuju Sabar #1

Beberapa hari yang lalu saya datang ke Jakarta untuk sebuah acara diskusi kasus di FKUI Salemba.

Seperti biasa, tiket CKG-SUB sudah saya pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Untuk perjalanan pulang, saya memilih penerbangan pukul 19.10, jaga-jaga seandainya acara molor dan lalu lintas Jakarta yang unpredictable. Apalagi banjir Jakarta masih belum surut total.

Ternyata diskusi hari itu berakhir lebih cepat dari jadwal. Pukul 11.30 acara sudah selesai. Karena tidak punya agenda lain, dengan diantar teman saya memilih menunggu pemberangkatan pesawat di bandara Soekarno-Hatta. Lalu lintas juga super lancar. Pukul 13.00 saya sudah ngeprint boarding pass melalui check-in machine Terminal 3 Keberangkatan lalu duduk-duduk di gerai bakmi GM ditemani seporsi bakmi special dengan pangsit basah. Artinya 6 jam ke depan saya akan berada di bandara ini sambil ‘entah-ngapain’. Mungkin begini rasanya penumpang pesawat kalau harus transit berjam-jam di sebuah bandar udara. Ok then, saya bertekad melewatkan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat agar tidak mati kebosanan. Sekedar informasi, menunggu pemberangkatan kendaraan adalah hal yang tidak saya sukai. Hal ini betul-betul menjadi tantangan untuk kesabaran saya.

Setelah makan dan sholat jamak untuk Dhuhur dan Ashar, tujuan utama adalah membayar hutang tidur. Semalam mata hanya sempat terpejam selama 3 jam. Untunglah di lobi utama lantai 2 tersedia kursi-kursi empuk yang mengelilingi 4 sisi display televisi.

Salah satu sisi display TV
Salah satu sisi display TV

Segera saja pantat mendarat di salah satu kursi kosong yang letaknya di sudut. Lima, 10, 15 menit, setengah jam, sejam, belum bisa tidur juga. Ternyata tidur di tempat umum itu sulit. Bukan karena cemas bawaan hilang, tapi karena akan banyak mata yang mengambil kesempatan memandangi saya puas-puas. Ya, alasan ini memang mengandung unsur ge-er. Hehe…

Akhirnya saya putuskan untuk tilawah. Hal yang kurang bisa dilakukan di rumah dengan tenang. Tidak lama kemudian kantuk mendera. Ini tilawah kok kayak obat tidur sih? Otak mesti diformat ulang nih. Walaupun tidur hanya 10 menitan, tapi lumayan bikin fresh mata dan badan. Terbangun dan bosan… Uh, ngapain ya? Chatting sampai jempol keriting juga sudah. Sampai teman chattingnya bosan kali.

Waktu terus merangkak. Untung saja sudah pandai merangkak, jadi terasa lebih cepat. Mungkin sebentar lagi si waktu belajar jalan dan lari. Bosan lagi. Jalan-jalan di sekitar lobby. Merekam gambar yang menurut saya menarik melalui ponsel. Sayangnya tidak ada teman yang bisa dimintai tolong ngambil gambar narsis. Duduk lagi sampai pantat panas dan meleleh. Lelehannya menyatu dengan plastik pelapis kursi. Kalau begini mudah-mudahan jadi lebih betah duduk.

Waiting...
Waiting…

Akhirnya pukul 17.00 tiba. Empat jam yang menyiksa telah terlewati. Lebih baik nunggu maghrib sekalian di lobi utama sebelum boarding pukul 18.30. Informasinya, adwan maghrib pukul 18.20. Sholat maghrib terpaksa tidak jadi dijamak karena pengantri yang panjang mengular. Setelah boarding, pukul 18.45 saya sudah antri memasuki badan pesawat dan take off tepat pukul 19.20. Ternyata waktu berlari di dua jam terakhir. Perjalanan masih panjang. Masih ada perjalanan Surabaya-Malang yang menanti.

Bandung on Board #2

Obrolan sesi dua ini saya isi dengan cerita tentang jalan-jalan kuliner saya selama di luar acara seminar. Yang pertama saya berkesempatan malam sabtuan di The Kiosk, Ciwalk. Sabtu siang saya sempat jalan ke food court di Pasteur Hyperpoint. Dan terakhir malam mingguan di Shin Men Japanese Resto, Paris Van Java.

Kuliner di Ciwalk

Malam pertama di Bandung saya membuat janji dengan teman lama yang tinggal dan bekerja di Bandung untuk jalan-jalan di Cihampelas yang tidak jauh dari hotel Andelier tempat saya menginap. Cukup berjalan kaki 10 menit untuk mencapai jalan Cihampelas. Berbicara tentang Cihampelas tentu tidak dapat dipisahkan dengan Ciwalk atau Cihampelas Walk. Ini jalan-jalan saya yang kedua di Ciwalk, tetapi sudut-sudutnya yang menarik tetap mampu menyuguhkan pemandangan unik dan eksotik. Bandung sekali, menurut saya. Setelah puas berkeliling, akhirnya kami memilih The Kiosk sebagai tempat makan untuk mengganjal perut. Menu yang ditawarkan bervariasi mulai dari yang tradisional sampai internasional. Saya yang ingin makan mi kocok Bandung di Bandung (bukan di Malang atau kota lainnya) akhirnya keturutan juga. Hanya bajigur yang tidak saya temui di daftar menu The Kiosk dan terpaksa diganti teh tarik dingin.

Mi Kocok dan Teh Tarik Dingin a la The Kiosk.
Mi Kocok dan Teh Tarik Dingin a la The Kiosk.

Harga yang ditawarkan tidak terlalu mahal dan senilai dengan suasana cozy yang ditawarkan. Kami mendapat meja tepat di depan panggung live music karena meja favorit di balkon sudah penuh. Pemusiknya cukup handal memainkan lagu-lagu cinta. Kombinasi petikan gitar dan biola menghadirkan suasana romantis. Sayangnya teman makan saya perempuan, hahaha…

Live music performance di The Kiosk, recommended :)
Live music performance di The Kiosk, recommended 🙂

Rapat di Pasteur Hyperpoint

Siang itu sebetulnya masih ada agenda presentasi makalah bebas. Tapi saya sudah berjanji dengan dua orang teman lama untuk membicarakan rencana reuni SMP. Maka, jadilah siang itu saya dijemput seorang teman meninggalkan seminar dan menyusuri jalanan kota Bandung menuju food court di Pasteur Hyperpoint. Sekali lagi mata saya mencari-cari kedai minuman yang menjual bajigur. Siapa tahu nasib saya sedang baik dan berjumpa dengan minuman khas Jawa Barat favorit saya ini. Duh, ternyata tidak ada. Akhirnya seporsi durian bakar dan es kelapa durian seharga masing-masing Rp.25.000,00 menemani meeting kami di siang yang mendung itu. Saya tidak terlalu merekomendasikan durian bakarnya. Walaupun cukup legit, kombinasi durian dan ketan hitam terasa tidak pas di lidah. Belum lagi taburan kacang yang malah menghilangkan cita rasa duriannya. Sedangkan es kelapa durian layak dicoba. Saya sengaja berlama-lama memanjakan lidah, menikmati sajian yang terdiri dari 3 scoop es krim dan daging kelapa muda yang menutupi 5 biji durian lokal ini.

Penampilan Durian Bakar dan Es Durian di Foodcourt Pasteur Hyperpoint.
Penampilan Durian Bakar dan Es Durian di Foodcourt Pasteur Hyperpoint.

Masakan Jepang di Paris Van Java

Pada malam berikutnya saya jalan-jalan kuliner dengan seorang teman lama di UI dulu dan adik laki-laki saya yang kuliah di Bandung. Teman saya itu membawa kendaraan pribadi, sehingga kali ini tempat yang kami jangkau bisa lebih jauh. Kami bertiga bukan penduduk Bandung, sehingga tujuan ditentukan berdasarkan pengalaman saja. Teman saya mengusulkan Paris Van Java (PVJ) sebagai tempat tujuan jalan-jalan kami malam itu. Dia tidak tahu tempat asyik lainnya selain PVJ dan Ciwalk. Yang lain terpaksa menurut karena lebih tidak tahu lagi. Masuk tempat parkir PVJ kami langsung disambut antrian panjang. Lebih parah lagi, setiba di dalam area parkir tidak nampak boot kosong. Kecuali mobil-mobil yang diparkir paralel karena ditunggui oleh sopir masing-masing. Akhirnya, seperti halnya mobil-mobil lain di depan, kami terpaksa keluar tempat parkir dan mencari strategi parkir. Paling aman parkir di parkiran hotel, demikian menurut teman saya. Setelah beberapa kali berkeliling blok di sekitar PVJ akhirnya dapat juga tempat parkir terakhir di basement hotel De Java tepat di seberang PVJ. Sejam berlalu hanya untuk memarkir kendaraan. Lapar melanda, tapi masih ingin jalan-jalan. Seperti halnya tempat Ciwalk, PVJ juga menjual interior yang unik dan eksotik. Interior masing-masing stand ditata apik dengan tema tertentu. Kami hanya sempat berkeliling di lantai 2 dan 3 sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari tempat makan di area teras.

Sebuah lorong PVJ, kelap kelip dan hirup pikuk *BandungBanget.
Sebuah lorong PVJ, kelap kelip dan hirup pikuk *BandungBanget.

Kami memilih Shin Men Resto yang menjual kuliner Jepang. Bukan makanan Jepang kalau tanpa sashimi, menurut saya. Tapi kalau bisa yang paketan dengan sushi dan lainnya, jadi tidak kebanyakan pesan menu. Akhirnya pilihan pertama jatuh pada sushi bento yang terdiri dari hosomaki (nasi yang digulung rumput laut), nigiri (nasi yang diberi lauk diatasnya), sashimi (ikan mentah segar), dan salad. Di nampan disajikan juga kecap jepang, parutan jahe, wasabi (sambal jepang), dan sup yang berisi tofu dan rumput laut. Cocok deh, pokoknya harus ada sashimi. Pilihan kedua kami pesan beef teriyaki yang cita rasanya sudah familiar dengan lidah Indonesia. Daging dimasak semur itu lho, tapi yang ini sepaket dengan tori karaage (ayam goreng ala Jepang) dan yasai itamae (jamur itamae yang ditumis) yang disajikan dengan nasi dan acar. Sementara teman saya memesan sup dan ramen (kalau tidak salah ya, lupa sih, hehe). Minuman kami pesan ocha (teh hijau) panas dan dingin. Ocha disini bisa refill jadi bisa dipuas-puasin minum ochanya. Ada 4 nigiri yang disajikan, masing –masing dengan telur dadar, udang rebus, salmon, dan belut. Sedangkan sashiminya terdiri dari 2 irisan salmon dan 2 irisan tuna. Kedua jenis sashimi ini menurut saya diiris terlalu tebal. Adik saya yang baru kali ini makan masakan Jepang mulai sibuk mencari ‘penawar’ untuk menghilangkan rasa eneg. Untung ada kulit pangsit gratis yang dihidangkan sebagai snack. Haha… Secara umum, masakannya memuaskan dan harganya terjangkau. Apalagi dengan kartu kredit bank tertentu bisa dapat diskon 20%. Disana kami bertiga menghabiskan tidak sampai 300 ribu. Saya rasa sesuai dengan cita rasa dan pengalaman kuliner yang didapat.

Sushi bento pesanan saya, yang penting sashimiiiii :D
Sushi bento pesanan saya, yang penting sashimiiiii 😀

Tiga hari di Bandung, tentu saja tulisan ini hanya mewakili sekedar icip-icip suasana Bandung.  Semoga ada lagi kesempatan jalan-jalan ke sana.  Nuhuuun 🙂

Bandung on Board #1

Rasanya bukan sekali ini saya menyampaikan bahwa saya sangat menyukai perjalanan. Betapa pun repot dan menegangkan sebuah perjalanan, setiap jengkalnya selalu punya kesan dan pelajaran yang bisa dibagi. Seperti perjalanan saya ke Bandung beberapa hari yang lalu. Ini adalah perjalanan dinas. Saya akan mempresentasikan riset saya pada forum ilmiah perkumpulan Anatomist di Bandung. Forumnya sendiri tidak penting untuk diceritakan. Hal istimewa yang ingin saya bagi adalah tentang perjalanan itu sendiri, terutama tentang rekan seperjalanan saya dan jalan-jalan kuliner selama di Bandung.

Menuju Bandung

Sejak awal saya memutuskan untuk menumpang pesawat terbang. Berdasarkan rekomendasi teman, tiket saya beli dari agen penjualan tiket Arwana. Lupakan membeli tiket secara online karena saya baru ingat kalau kartu kredit saya sudah kadaluarsa dan belum menerima kartu kredit yang baru karena kurirnya bermasalah. Merencanakan berangkat pada hari-H, pilihan jatuh pada penerbangan AirAsia paling pagi dari Surabaya menuju Bandung. Pesawat dijadwalkan berangkat pukul 6.30 WIB dan tiba pukul 7.50 WIB. Perjalanan dari Malang bisa dengan menumpang travel atau kendaraan pribadi. Untuk keberangkatan sepagi itu, kebanyakan travel akan menjemput penumpang pada pukul 1 atau 2 dini hari untuk menghindari risiko keterlambatan. Padahal perjalanan Malang-Surabaya dapat ditempuh dalam waktu rata-rata 2 jam tanpa macet. Tidak mau terlalu cepat tiba di bandara, saya memilih diantar sopir dengan memakai kendaraan pribadi, Daihatsu Classy keluaran tahun ’90. Mobil tua yang suami saya sendiri selalu mencemaskan kondisi mesinnya. Walaupun pernah beberapa kali mengalami masalah selama memakainya, mulai dari ban bocor sampai tali kipas lepas, saya tetap merasa percaya diri memakainya. Mungkin karena suami lebih tahu tentang mesin sehingga kecemasannya menjadi beralasan. Kami meninggalkan rumah pukul 3.00 menuju Bukit Dieng Permai untuk menjemput senior yang akan berangkat bersama saya. Mobil sempat ngadat pada saat meninggalkan kediaman senior saya tersebut. Untung saja segera teratasi. Tepat pukul 3.30 kami melanjutkan perjalanan. Jalanan tidak terlalu ramai didominasi truk dan tronton yang berjalan lambat serta kendaraan pribadi. Kendaraan lain keluaran tahun terbaru yang kondisi mesinnya lebih baik berkali-kali mendahului kendaraan kami. Duh, mudah-mudahan bisa lebih ngebut lagi, pikir saya sambil berkali-kali melirik speedometer. Ketegangan melanda. Bayangan terlambat tiba di bandara mulai muncul. Kalau ini keberangkatan seorang diri ya tidak apa-apa. Saya sudah pernah berlari-larian sepanjang gate bandara dan menjadi penumpang terakhir yang masuk badan pesawat sebelum pintu pesawat ditutup lalu lepas landas. Pernah juga ketinggalan kereta api gara-gara ketiduran di stasiun. Tapi dengan mengajak senior sekaligus guru saya, seorang Profesor Ameritus berumur diatas 75 tahun yang pernah menjalani beberapa kali operasi pemasangan stent jantung agaknya membuat saya berdo’a sepanjang jalan agar mobil ini cukup kooperatif untuk bisa tiba di bandara tepat waktu. Asal tahu saja, kondisi psikis seperti kecemasan dan ketakutan akan memberi dampak lebih buruk pada jantung dibandingkan kelelahan fisik. Akhirnya syukurlah kami tiba di bandara tepat pukul 5.30 WIB.

Tol Bandara Juanda, matahari terbit.
Tol Bandara Juanda, matahari terbit.

Tidak bisa segera check-in karena harus menunggu seorang rekan lagi. Hingga akhirnya rekan saya tiba di bandara setengah jam kemudian. Kami boarding pukul 6.15 dan segera siap di dalam pesawat. Teman perjalanan saya yang kedua ini berangkat dengan membawa kedua anaknya, balita umur 3 dan 1 tahun. Jadi, rombongan kami ini terdiri dari seorang lansia dengan masalah jantung, 2 balita yang saling berebut perhatian ibu mereka, ibu mereka, dan saya. Saya maklum, di dalam rombongan ini sayalah yang paling melenggang, sehingga sedapat mungkin saya membantu kedua rekan perjalanan saya tersebut. Entah menggendong si bayi, menggandeng dan menghibur si kakak, atau sekedar membawakan barang bawaan mereka. Saya sendiri tidak terbiasa membawa banyak barang bawaan dalam perjalanan dan lebih menyukai ransel daripada luggage. Sehingga kedua tangan saya bebas membantu mereka. Pukul 6.45 WIB pesawat lepas landas meninggalkan Juanda dengan segala kesibukan paginya.  Sampai jumpa Surabaya, Selamat Datang di Bandung 🙂

Tips Belanja dan Jalan-Jalan di Thailand

Thailand terkenal dengan cenderamatanya yang cantik dan kualitasnya cukup baik. Cenderamata khas Thai identik dengan bentuk gajah dan candi. Bentuk itu bisa dijumpai pada T-shirt, ukiran, patung, gantungan kunci, tas, pakaian dan lainnya. Thai juga bisa dikatakan sebagai surga belanja. Secara umum harga-harga disana tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Untuk sesama tempat wisata, harga barang-barang di Thailand dapat disetarakan dengan Solo atau Yogyakarta. Tapi jangan dibandingkan dengan harga-harga di Bali. Patokan harga di Bali jauh lebih mahal daripada di Thailand.

Berikut saya bagikan bagaimana saya membelanjakan uang untuk oleh-oleh dan camilan selama 4 hari disana. Tidak termasuk akomodasi dan konsumsi ya, karena semuanya ditanggung oleh biro perjalanan. Sebelum berangkat, saya menukarkan uang rupiah saya dengan Baht yang dihargai 345 Rupiah. Agak lebih mahal karena di tempat penukaran uang yang lain 1 Baht dihargai 336 Rupiah. Kalau bisa saat tukar minta Baht dalam bentuk pecahan ratusan dan lima puluhan agar tidak repot menukar uang selama di Thai. Pecahan tertinggi di Thai adalah uang kertas 1000 Baht sedangkan yang terkecil 1 Baht. Ini dia apa saja yang saya beli selama di Thai:

Sriracha Tiger Zoo:
5 pack permen kelapa dan durian @20 Baht 100 Baht

Mike Mall, Pattaya:
Kacamata hitam 99 Baht
Susu kedelai 20 Baht

Family Mart, Pattaya:
Tao Kae Noi bungkus besar 36 Baht
Tao Kae Noi bungkus kecil 19 Baht
Dozo camilan 36 Baht
Sambal maengda khas Thai 20 Baht

Floating Market, Pattaya:
Tao Kae Noi bungkus besar 36 Baht

MBK lantai 5 dan 6:
1 pack dodol durian isi 5 bungkus 100 Baht
3 buah T-Shirt (ukuran L dan M) @99 Baht 297 Baht
3 tas besar @75 Baht 225 Baht
6 tas kecil @50 Baht 300 Baht

Pasar Wat Arun:
2 buah gelang @43 Baht 86 Baht
1 buah bros gajah @45 Baht 45 Baht
1 pack gantungan kunci gajah isi 10 buah 100 Baht
2 buah topi bordir Thai @100 Baht 200 Baht
1 pack durian montong 50 Baht

Total pengeluaran 1.769 Baht

Dengan nilai tukar rata-rata 340 Rupiah, jumlah ini senilai dengan 601.460 Rupiah. Sedangkan barang yang terbeli untuk oleh-oleh sebanyak 38 buah. Ini tidak termasuk barang yang saya beli untuk kepentingan pribadi seperti kacamata, susu kedelai, gelang, bros, dan durian.

Tas besar seharga 75 Baht.
Tas besar seharga 75 Baht.
Tao Kae Noi versi Thailand.
Tao Kae Noi versi Thailand.

Tips Belanja dan Jalan-Jalan di Thailand

Menawar. Harga-harga di MBK, pasar Wat Arun, dan Floating Market kebanyakan masih bisa ditawar, kecuali T-Shirt. Misalnya harga tas besar 100 Baht bisa turun menjadi 75 Baht. Kita bisa menawar hingga 1/3 dari harga yang ditawarkan. Tapi jangan lebih dari itu karena pedagang disana relatif temperamental. Masih mending dicuekin atau diomelin, bukan tidak mungkin mereka akan mengusir kita. Tawar-menawar dilakukan dengan kalkulator. Mungkin karena mereka kurang fasih berbahasa Inggris, atau tidak ingin tetangga “nguping” transaksi mereka.
Membeli borongan. Membeli langsung 3 buah barang akan mendapat potongan harga. Misalnya gelang seharga 50 Baht saya dapatkan 130 Baht untuk 3 buah gelang. Jangan ragu-ragu minta potongan harga, mereka tahu kalau kita hobi minta “diskon”.
Beda tempat beda harga. Beberapa barang mungkin lebih murah di tempat tertentu tetapi lebih mahal untuk barang lainnya. Misalnya T-Shirt di MBK 99 Baht dijual 100 Baht pas di pasar Wat Arun, demikian juga dengan tas. Harga tas di pasar Wat Arun pas 100 Baht tidak bisa ditawar. Tetapi gantungan kunci dan gelang di pasar Wat Arun rata-rata lebih murah. Beberapa informasi menyebutkan pasar Chatuchak yang termurah, tapi menurut teman yang sudah pernah berkunjung ke sana hal itu tergantung keterampilan kita menawar barang.
Memperhatikan transaksi orang lain. Perhatikan toko lain disekitarnya kalau ada toko yang sangat ramai pembeli. Biasanya toko di sekitarnya akan banting harga apabila melihat pesaingnya tampak sangat ramai pembeli. Tas kecil yang saya dapat dengan harga 50 Baht di toko yang sangat ramai bisa didapatkan dengan harga 100 Baht/3 buah di toko seberangnya yang kebetulan sedang sepi.
Untuk “NaRaYa” mania. Untuk penggemar produk “NaRaYa” ada baiknya membelinya di toko bandara. Selain harganya sama saja, koleksinya lebih lengkap karena pembelinya tidak seramai di gerai luar bandara. Ini kalau penerbangannya melalui Don Mueang lo ya, saya tidak tahu bagaimana dengan Svarnabhumi.
OTOP. Di Thailand dikenal produk-produk terbaik dengan label OTOP,”One Tambon One Product”. Tambon adalah istilah untuk subdistrik di Thailand. Masing-masing subdistrik mempunyai produk unggulan yang disponsori oleh pemerintah dan diberi label OTOP. Misalnya durian kering, dodol durian, madu, dan produk kesehatan herbal. Walaupun harganya sedikit lebih mahal, tapi kualitasnya memang top.

Gerai produk-produk OTOP di bandara Don Mueang.
Gerai produk-produk OTOP di bandara Don Mueang.

Berbelanja dengan uang rupiah di Thailand. Kalau kehabisan uang Baht, beberapa gerai menerima pembayaran dengan uang plastik (kartu debet/kredit), tentu saja dengan biaya kurang lebih 150.000 Rupiah tiap kali gesek. Biaya administrasi penarikan lewat ATM dengan kartu bertanda “Visa/Master” mungkin juga sebesar itu. Saya tidak tahu tentang bank tertentu yang jaringannya ada di Thailand seperti CIMB. Ada baiknya kita tanyakan pada saat masih di Indonesia. Sedikit catatan, di pasar Wat Arun kita bisa berbelanja memakai uang rupiah.

Salah satu CIMB, Bangkok.
Salah satu CIMB, Bangkok.

Berhati-hati saat membeli makanan, perhatikan ada tidaknya label halal pada kemasannya.
Termasuk berhati-hati saat ke restaurant. Sebaiknya search dulu tentang restaurant halal di Thailand. Makanan laut (seafood) atau menu vegetarian merupakan pilihan yang cukup bijaksana.
Selalu menyediakan tissue basah kalau kita tidak terbiasa dengan toilet kering. Kebanyakan toilet di sana tidak menyediakan shower.
Bahasa. Sekalipun di tempat wisata terkenal seperti Pattaya, jarang sekali penduduk lokal yang mampu berbahasa Inggris. Jadi, siap-siap saja memakai bahasa tarsan. Khusus di pasar Wat Arun, selain boleh berbelanja menggunakan uang rupiah, penjual di sana juga lihai berbahasa Melayu.
Musholla yang langka. Tidak tersedia musholla di tempat-tempat umum sehingga kita perlu mencari masjid atau selalu menyediakan kain bersih untuk alas kita sholat apabila sedang di tempat umum. Arah kiblat bisa kita dapat dari aplikasi di handphone atau dengan memperhatikan arah bayangan benda. Setidaknya ini pengalaman saya selama 4 hari di sana. Kita boleh menjamak sholat selama menjadi musafir. Kalau mau jalan-jalan dari pagi sampai malam, kita bisa numpang sholat di restaurant muslim sekalian makan siang di sana.

Thai on Vacation #5

Uang Rupiah di Pasar Wat Arun

Ini hari terakhir kami di Bangkok. Kami akan berperahu di Chao Phraya, sungai terbesar yang menjadi salah satu sarana transportasi utama di kota Bangkok. Alat transportasi umum yang utama di Bangkok adalah bis, monorail, kereta api, waterbis dan taksi. Ada juga alat transportasi tradisional yaitu tuk-tuk. .

Tuk-tuk di jalan-jalan utama kota Bangkok.
Tuk-tuk di jalan-jalan utama kota Bangkok.

Setelah beberapa saat perjalanan melintasi kota Bangkok dengan pemandangan istana raja dan kantor-kantor pemerintahan yang berarsitektur kuno dengan halamannya yang luas, kami tiba di sebuah keramaian pasar. Dermaga kecil tempat perahu merapat dicapai setelah melewati pasar – sepertinya pasar loak –. Pukul 10.30 perahu motor melaju menuju Wat Arun. Wat adalah sebutan untuk “Candi”. Sebelum mencapai Wat Arun kami melewati sebuah Wat Pho, kuil khusus untuk para Bikkhu, dan berhenti sebentar untuk memberi makan ikan-ikan patin yang hidup merdeka di belakang kuil tersebut. Bagaimana tidak merdeka, ikan-ikan ini tidak boleh dikonsumsi dan hanya boleh diberi makan. Makanannya pun roti yang sebelumnya sudah dibagikan di atas perahu motor. Sebetulnya kami sempat GR diberi roti saat perut mulai keroncongan. Eh, ternyata roti itu untuk makanan ikan. Tiba di Wat Arun pukul 11.00 kami mencari latar belakang yang bagus untuk foto bersama. Wat Arun atau Temple of the Dawn merupakan salah satu landmark Thailand yang didirikan pada abad ke-17.

Salah satu sudut Wat Arun dan hiasan piring kuno di dindingnya.
Salah satu sudut Wat Arun dan hiasan piring kuno di dindingnya.

Terletak di sisi barat sungai Chao Phraya, candi setinggi 70 meter ini dindingnya dihiasi mosaic berwarna-warni dari piring porselen. Entah bagaimana cara memotong-motong berbagai bentuk porselen pada masa itu.

Salah satu hiasan dinding candi yang terbuat dari potongan porselen.
Salah satu hiasan dinding candi yang terbuat dari potongan porselen.

Tapi yang lebih menarik dari kompleks candi ini adalah pasar Wat Arun (dasar ibu-ibu yaa…). Kebanyakan pedagang di pasar ini pandai berbahasa Melayu dan menariknya, kami boleh berbelanja dengan uang rupiah. Tentu saja dengan kurs yang mereka atur sendiri. Misalnya rok khas Thai seharga 200 Baht dapat dibeli dengan harga 120.000 Rupiah alias 1 Baht dihargai 600 Rupiah. Padahal kurs yang berlaku 1 Baht bernilai kurang lebih 340 Rupiah. Bagi yang kehabisan uang Baht rasanya cukup terhibur karena ini kesempatan terakhir untuk belanja oleh-oleh di Thailand sebelum pulang. Di pasar Wat Arun saya membeli 2 buah gelang dan 1 buah bros @45 Baht, gantungan kunci gajah isi 10 seharga 100 Baht, dan 2 buah topi @100 Baht. Dari pengamatan saya, harga produk tekstil seperti kaos dan kerajinan tas lebih murah di MBK sedangkan untuk perhiasan seperti bros, gelang, kalung, cincin, dan cenderamata seperti gantungan kunci dan hiasan meja lebih murah di pasar Wat Arun. Satu set gantungan kunci seharga 100 Baht di MBK bisa didapatkan dengan harga 75 Baht di pasar Wat Arun. Tetapi tas khas Thai yang saya beli seharga 75 Baht di MBK dihargai pas 100 Baht di pasar Wat Arun. Pernyataan ini sudah melalui survey yang cukup valid ke beberapa teman yang juga biang belanja.

Suasana pasar Wat Arun, memang sumpek dan uyel-uyelan, sepadan dengan harga yang dikeluarkan.
Suasana pasar Wat Arun, memang sumpek dan uyel-uyelan, sepadan dengan harga yang dikeluarkan.

Pukul 11.00 kami kembali ke dermaga pemberangkatan. Melintasi pasar dekat dermaga saya tidak ingin melepaskan cita-cita saya membeli durian. Akhirnya durian montong kupas seharga 50 Baht berpindah ke bagasi saya hanya untuk memuaskan obsesi saya makan durian Thailand.
Sambil menunggu bis jemputan, saya memperhatikan dua orang perempuan lokal yang sedang menikmati layanan facial tradisional Thai seharga 120 Baht. Mula-mula wajah mereka dilumuri ramuan berbentuk serbuk berwarna putih seperti bedak. Kemudian sang “beautician” menggesek-gesekkan benang di permukaan wajahnya dengan arah, kecepatan, dan tekanan tertentu.
DSC_0479

Facial tradisional Thailand
Facial tradisional Thailand

Kami makan siang di rumah makan yang terletak di sebuah lorong yang tampaknya didominasi warga Muslim. Beberapa lapak yang menjual makanan di sana memasang label halal pada barang dagangannya. Suguhan pencuci mulut kali ini bukan buah, melainkan dawet dengan potongan ubi yang kalau melihat tekstur dan warnanya kita kenal dengan nama “mbothe”. Rupanya pemiliknya tahu kalau kami sudah kangen makanan Indonesia. Walaupun tetap saja tidak pernah ketemu pecel disana.

Dawet Thailand dengan potongan “mbothe”.
Dawet Thailand dengan potongan “mbothe”.

Sholat di Ruang Tunggu Bandara

Pukul 14.00 kami sudah tiba di bandara internasional Don Mueang. Kami sengaja datang lebih dini walaupun pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 19.00 karena memperkirakan check-in bagasi akan berlangsung lama. Tentu saja, karena bawaan sudah berlipat-lipat dan beranak pinak dibanding pada saat berangkat.

Tas yang bertambah gendut dan beranak-pinak.
Tas yang bertambah gendut dan beranak-pinak.

Bandara Don Mueang cukup luas walaupun interiornya tidak istimewa. Tersedia kids zone agar anak-anak tidak bosan menunggu keberangkatan pesawat. Untuk penggemar produk “NaRaYa” saya sarankan tidak terburu-buru membeli di MBK. Di bandara Don Mueang juga tersedia gerai “NaRaYa” dengan koleksi yang lebih lengkap karena pembelinya tidak sebanyak di MBK. Harganya juga tidak berbeda dengan gerai di luar bandara. Lantai bandara berkarpet bersih dan cukup memadai untuk sholat. Asal tahu saja, selama saya mengunjungi tempat-tempat umum disana hanya Super Bee Healthy saja yang menyediakan musholla. Itupun karena pengelolanya seorang Muslim. Untuk sholat di bandara, kami mengambil sudut yang tidak terlalu ramai dan mulai sholat jama’ ta’dim maghrib dan isya’.

Sedikit berbeda dengan bandara internasional Sukarno-Hatta, di sini tidak disediakan ruang tunggu selama boarding. Boarding ya artinya langsung duduk di dalam pesawat. Kami boarding pukul 19.15 dan take off tepat pukul 19.30. Di atas pesawat, rupanya banyak penumpang yang kelaparan, sehingga rencana saya membeli nasi lemak untuk “dinner on the sky” tidak kesampaian. Setelah 4 jam penerbangan, kami mendarat di bandara internasional Juanda, Surabaya. Setelah makan nasi rawon di warung “Sop Buntut Surabaya” di Juanda, kami memulai perjalanan pulang ke Malang dan tiba di Malang pada pukul 3 dini hari. Maka berakhirlah liburan 4 hari di Thai yang eksotis.
Tentang tips jalan-jalan dan belanja bisa disimak tulisan berikutnya.

Pose Ronald McDonald versi Thailand,”ka pun kha” (= terima kasih)
Pose Ronald McDonald versi Thailand,”ka pun kha” (= terima kasih)