Sebuah Sketsa Sunyi

Waktu itu aku dan kamu berjalan beriringan di sepanjang koridor.  Pantulan gerak langkah kita tergambar di pembatas yang terbuat dari kaca.  Di luar gelap, hanya purnama yang tampak meninggi, menjelaskan bahwa saat itu hampir tengah malam.  Kecuali beberapa lampu merkuri berjajar di lapangan parkir.  Menerangi beberapa mobil yang terdiam berjauhan.  Hanya alas kaki kita yang bergantian menyentuh permukaan lantai menimbulkan irama tak beraturan.  Ini karena langkahmu yang lebih panjang membuatku pontang-panting menyusulmu.

“Laporan hari ini sudah selesai aku buat.  Salah satu pasien di bangsal penyakit dalam dengan kondisi diabetic nephropathy mengalami kegawatan dan masuk ICU. Tadi aku juga meminta rawat bersama dengan sejawat spesialis jantung karena tekanan darahnya tiba-tiba naik tinggi sekali.”

Kamu menjelaskan tanpa aku minta.  Memecah senyap.  Walaupun mungkin kamu juga tahu bahwa bukan penjelasan itu yang aku tunggu.

“Iya, tadi Irene juga cerita ke aku.  Kalau-kalau dia ambil kasus itu sebagai morning report.”

Suaraku terdengar terengah karena hampir berlari mengiringimu.  Sedikit kaget, kamu pelankan langkah.

“Maaf, aku buru-buru. Tadi sore Ibu menelepon.  Mendadak tidak enak badan.  Setelah ini aku langsung ke Kemang.  Tidak pulang ke rumah.”

Dirimu berkata sambil menoleh kepadaku.  Mungkin juga baru menyadari kalau kakiku terlalu pendek untuk langkahmu yang tergesa.

Jadi, malam ini aku tidak perlu mengharap penjelasan apapun tentang diamnya padaku.  Baiklah.  Di ujung koridor kita akan berpisah.  Kamu menuju lapangan parkir.  Dan aku kembali ke bilik residen bedah, segera menenggelamkan diriku diantara jurnal-jurnal bahan morning report.  Tanpa kata kita mengambil jalan berbeda.  Aku kecewa.  Iya, sangat kecewa.  Seperti terbuang tak berarti.  Setelah semua kedekatan kita.

———-

Aku mematung di samping Brioku.  Memandang ke arah koridor yang tadi kami lewati.  Mencari bayangan dirimu yang memunggungiku.  Menghilang ditelan dinding-dinding rumah sakit.  Sedih dan sakit datang bersamaan secara tiba-tiba.  Aku angkuh, katamu.  Betul.  Aku egois.  Sangat betul.  Betapa aku sadari kebenaran predikat itu.  Tapi kamu juga harus tahu.  Aku begitu, agar kamu tidak menjadi terlalu sakit ketika saat itu tiba.  Kumasuki kabin Brio dan kuhempaskan punggung penatku di kursi pengemudi.  Pelan kutekan pedal gas meninggalkan lapangan parkir.  Membelokkan setir ke jalanan di samping Gedung Pendidikan.  Aku sedih, sangat sedih.  Saat tidak kutemukan bayangan dirimu yang memunggungiku.

———-

Berbilang bulan sudah sejak perpisahan kita di ujung koridor itu.  Yang setelahnya hanya membuatmu selalu menghindar.  Untung saja tidak ada alasan agar kita bertemu lagi.  Aku pun berjanji tidak akan lagi membuat pesan-pesanku menggantung di dunia maya.  Sekuat hati tidak akan lagi menyapamu saat kita berpapasan.  Sudah cukup.  Dulu itu yang terakhir.  Setelah sebelumnya hampir tidak ada jeda kita saling berkirim pesan.  Sesekali membuat janji bertemu di kantin rumah sakit.  Menceritakan ulang apa yang sudah kita tuliskan.  Rasanya jauh dari kata bosan.  Semua amat sangat menyenangkan.  Aku bukan tidak tahu bahwa ada perasaan berbeda.  Kamu bahkan sudah menyatakan, cinta dan sayang.

Hingga tiba-tiba datang hari itu.  Setelah mendampingi supervisor melakukan operasi hepatotomy pada seorang pasien kanker hati, kami bertemu.  Pertemuan yang tidak mungkin dielakkan di ruang operasi.  Seharusnya kita bersikap profesional kan.  Tapi tidak demikian denganmu.  Melihatku pun engkau tidak.  Aku seperti tidak ada.  Sakitnya sungguh luar biasa.  Bukan karena mengingat masa-masa itu.  Tapi perasaan terbuang tidak berharga.  Untung saja tidak ada kolega yang menyadari kecanggungan kami.  Setelahnya perasaanku berkecamuk.  Antara tersadar tentang sesuatu dan menolaknya sekaligus.  Aku bukan tidak tahu dia sudah berdua.  Aku menyadari percikan-percikan itu adalah romantisme sesaat.  Yang tidak bisa kita genggam selamanya.  Entah denganmu.  Kamu pernah mengatakan ingin terus menikmatinya.  Dan memilikinya seakan untuk selamanya.

Akhirnya, lelah hati ditambah lelah fisik menjalankan operasi delapan jam, membuat pertahananku untuk tidak berkirim pesan itu runtuh.   Entah nanti kau baca atau tidak aku tidak lagi peduli.

———-

Ruang operasi bersuhu hampir 10 derajat ini terasa sangat gerah bagiku.  Dia ada disana.  Begitu cantik.  Matanya begitu cerdas mengikuti seluruh proses operasi besar ini.  Tangannya begitu sigap menerima perintah-perintah dari supervisor.  Tapi mengapa rasanya aku ingin lari keluar saja.  Mencari oksigen di luar sana.  Gejolak perasaan ini rasanya nyaris melumpuhkan akalku.  Membuatku sesak mendadak.  Antara ingin merengkuh dan menjauh.  Tuhan, aku harus bagaimana.

Sejurus gawaiku memberi tanda pesan masuk.  Seperti biasanya spontan aku buka dan aku baca.  Tidak mungkin melewatkan pesan apapun saat kita menjalani pendidikan spesialis seperti ini.  Tapi ini pesan darinya.  Yang sudah lama sekali tidak aku terima.  Pesan yang tidak ingin aku baca tapi sekaligus sangat aku rindukan.  Pesan yang membuatku tersentak sakit.  Pesan itu berbunyi begini:

Berjalanlah kalau kau ingin berjalan
Tidak ada yang jahat lalu merantaimu
Kita cuma tokoh tokoh yang segera berganti peran
Dan engkau terlalu tahu harus kemana

Bahkan jauh sebelum pentas digelar
Yang penontonnya satu satu pergi tanpa tanya...

Sejenak aku tercenung.  Kemudian aku ketikkan sesuatu untuk membalas pesannya:

Cinta inilah yang merantaiku.  Atau tepatnya aku yang merantai cinta ini.  Aku tidak ingin berganti peran.  Karena aku ingin memiliki rasa ini selamanya.

Kubaca ulang tulisanku.  Kemudian kutekan pelan tombol delete.  Menyisakan deretan kata darinya.

See the source image

Published by

Safrina Dewi

Sebutir pasir dalam lautanNya, yang berusaha memaknai hari untuk mencapai ridhoNya...

Leave a comment