Don’t Give Up (by a-Linea8)

Kali ini boleh dong share video klip buatan sendiri 😀

(Don’t Give Up, video ini didedikasikan untuk dunia pendidikan Indonesia)

Sudah menyimak video klip di atas? Baiklah. Semoga otomatis klik gambar jempol keatas dan sapskreb, karena sapskreb itu gratis 👍😎

Sejujurnya saya bingung mau menulis sisi mananya:

  1. Lagunya
  2. Story boardnya, atau
  3. Pembuatan videonya

Akhirnya saya tulis semuanya saja ya, karena banyak kisah di balik pembuatan video ini, itupun sebagian besar sudah disensor 😉

Pertama, lagunya.

Lagu ini merupakan lagu ke-4 dari suami dkk. Tiga single pertama lirik dan lagunya ditulis oleh suami, sedangkan Don’t Give Up dibuat oleh mas Yusuf (beliau ini musisi asli, hanya saja saat ini nyambi jadi Camat di Kec. Salaman, Kab. Magelang). Semua vokalnya diisi mas Labbaika (yang punya sambilan jadi Camat Muntilan dan kadang-kadang terima order nyanyi di acara kawinan, eh…). Sementara suami dan mas Yusuf fokus di gitar akustik dan elektrik. Single pertama sampai ketiga silahkan disimak di channel mereka ya, buat nambah-nambah viewer, hehe…

Berikutnya tentang story boardnya.

Pada single ke-4, para siboekers ini ingin membuat video klip yang lebih seriyes, lebih bagus dan lebih pro. Begitu lagu selesai diaransemen oleh mas Adi, mulailah kita cari ide dan alur cerita yang pas untuk lagu ini. Pertama kali mendengar lagu ini saya langsung tahu bahwa lagu ini dibuat oleh mas Yusuf untuk mbak Niken, istrinya, karena kebetulan saya pernah terlibat chat panjang dengan mbak Niken. Tapi video yang bercerita tentang pasangan yang saling memberi semangat kan sudah terlalu umum. Akhirnya terbersit ide menampilkan tokoh ibu yang memberi semangat pada anaknya untuk menyelesaikan pendidikan dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Harapannya, ceritanya akan lebih universal dan menyentuh. Maka mulailah saya susun storyboardnya untuk didiskusikan bersama a-Linea8, crew cameramen (mas Hafid dkk, yang nyambi jadi guru), dan para talent. Fyi, tokoh utama dalam video klip ini diperankan oleh dik Novi, yang pernah jadi Duta Wisata 3 Kab. Magelang. Sehingga otomatis membuat impian saya menjadi tokoh utama buyar sudah (mimpi yang ketinggian, hiks). Didalam alur cerita sengaja saya sisipkan tokoh dosen, dengan harapan saya terpilih jadi dosennya. Tapi apa mau dikata, lagi-lagi gagal casting, semua crew lebih setuju saya jadi emak berdaster, ibu dari tokoh utama. Yaah, apa boleh buat… nasib, kembali pada profesi asli. Walau demikian ada juga hikmahnya, suami membelikan daster tiga lembar untuk keperluan syuting video klip. Jadi, itu semua kostum yang dipakai emak adalah daster baru ya, belum sempat dicuci gara-gara waktu syuting maju sehari. Gara-gara maju sehari ini juga, beberapa talent gagal bergabung sehingga kami harus mencari talent dadakan. Diantaranya adalah mbak Yuli, dosen penguji 3, istrinya mas Labbaika. Untung semua rela iklas bersedia.

Terakhir tentang pembuatan video klipnya.

Memanfaatkan libur Pilkada, pengambilan gambar dimulai pada pukul 11, mundur 2 jam dari waktu yang direncanakan. Lokasi yang dipilih adalah rumah tokoh utama di daerah Kalinegoro, rental komputer, angkot kosong yang sedang lewat, kantor Kecamatan Borobudur, dan kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Magelang. Sempat diwarnai insiden mati listrik saat akan mengambil adegan sidang skripsi, akhirnya seluruh pengambilan gambar selesai juga menjelang maghrib.

Akhirnya setelah 2 minggu menunggu, Alhamdulillah selesailah proyek video klip beneran ini. Terimakasih all a-Linea8 crews. Semoga banyak penikmat musik yang terhibur, sekaligus dapat mengambil pesan dari kisah yang disajikan. Buat kami, banyak sekali pengalaman dan pelajaran baru yang didapat selama pembuatan video ini. Inginnya sih bisa membuat karya yang lebih baik lagi untuk dunia musik Indonesia. Ternyata berkarya itu bikin keterusan ya 😃

Uji Rasa

Kalau ada uji nyali, yang ini uji rasa. Bukan uji rasa masakan, itu sih urusannya juri Master Chef. Tapi ini rasa perasaan. Ya, rasa itu bisa berupa benci, marah, hingga yang bagus-bagus seperti sayang dan cinta. Namanya juga uji, mesti ada alat ujinya. Sebetulnya alat ujinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan orang yang dengannya kita merasakan sesuatu.

Alkisah, perasaan manusia itu dinamis. Bisa berubah dengan perlakuan tertentu termasuk oleh waktu. Dengan berlalunya waktu, kita bisa melihat apakah perasaan yang pernah kita miliki pada seseorang masih ada atau sudah hilang alias netral.

Berdasarkan survey abal-abal yang sangat tidak valid, alat uji rasa ini adalah:

  1. Foto. Bisa dikatakan kita sudah netral lagi kalau tidak melengos atau reflex melotot saat melihat fotonya. Demikian juga dengan cinta, tidak ada gelombang electromagnet (baca: desir) tertentu saat melihat fotonya. Pokoknya lempeng dah.
  2. Nama/nomer telepon. Kalau perasaan kita sudah netral, membaca atau menuliskan nama seseorang tidak akan membuat sistem saraf pusat kita terhubung dengan pusat memori tentang kenangan atau kejadian yang membuat kita memiliki perasaan tertentu pada seseorang. Alias tidak muncul efek apapun.
  3. Lagu. Dengan netralnya perasaan, lagu yang menghubungkan kita dengan peristiwa masa tertentu akan terdengar biasa saja di telinga. Tidak ada rasa ingin mematikan lagu itu atau memutarnya berulang-ulang.
  4. Tempat. Demikian juga dengan tempat. Kita tidak lagi ingin menghindari atau sengaja mendatangi TKP tertentu dengan alasan masa lalu.
  5. Hadiah/benda kenangan. Seiring waktu, hadiah juga akan usang. Hadiah dari orang yang kita benci mungkin sudah dijual di loakan (kalau masih laku) atau bahkan sudah tidak berbentuk lagi dicabik-cabik maupun pecah berantakan. Sedangkan hadiah dari orang yang masih kita sayang biasanya tersimpan dan terawat dengan baik walaupun sudah tidak berfungsi. Perasaan kita bisa dikatakan sudah netral kalau tidak ada rasa keberatan memberikan hadiah itu kepada orang lain atau tidak sedih berlebihan saat hadiah itu hilang.

Nah, dari beberapa point di atas kita bisa mengukur perubahan perasaan kita pada seseorang. Hal ini juga untuk membuktikan bahwa perasaan itu adanya di qalbu, sesuatu yang bisa berbolak-balik.

Uneg-Uneg Sambil Ngopi Pagi

Membaca media Al Falah edisi terbaru yang tergeletak di meja kerjaku pagi ini kok bikin tergoda ingin menulis ya? Yang berkenan membaca monggo dilanjut membaca, dengan pesan bahwa tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi atau sejenisnya. Just uneg-uneg… 😉

Yang pertama adalah tulisan Tjahyadi Takariawan tentang ‘Saat Didera Rasa Jengkel Kepada Pasangan, Ini Yang Harus Anda Lakukan‘.  Tulisan dengan tema tersebut saya kira sudah sangat umum. Yang perlu dibahas adalah ‘Bagaimana Merespon Rasa Jengkel Pasangan Dengan Bijak’. Jadi, jangan how to deliver our angry wisely alias cara menyampaikan saja yang diberi solusi, tapi respon yang baik dari pasangan tidak kalah penting kalau tidak boleh dikatakan lebih penting.

Kalau dipikir sih, inilah bentuk fenomena yang umum kita jumpai di Indonesia. Kotak saran dan pengaduan ada dimana-mana, tapi tanggapannya nyaris tidak ada. Diintip isinya itu pun masih untung-untungan. Atau malah kunci gemboknya sudah hilang. Dibukanya itu pun pada saat si kotak akan dialihfungsikan menjadi kotak amal *ngarangabis*.  Temuan-temuan dalam suatu mekanisme evaluasi di dalam institusi malah seringkali menguap entah kemana berita acaranya. Tidak ada kelanjutan. Lantas bagaimana akan ada perbaikan? Miris. Hasilnya adalah ‘jengkel’ dan ‘kecewa’ yang semakin menumpuk karena tidak ada follow up.

Jadi bapak Tjahyadi, saya sangat menunggu tulisan tentang itu *nunjuk ke paragraph atas*.

Tulisan lain di lembar berikutnya adalah ‘Haruskah Istri Berbakti Pada Mertua‘ oleh M. Abduh Tuasikal. Kesimpulan akhir atas pertanyaan retoris pada judul tersebut adalah harus. Ini kalau mau jadi istri sholihah lo ya.

Tulisan sejenis ini pun sudah jamak mengisi berbagai media disertai dalil-dalil pendukungnya. Tentu bagus, karena biasanya yang saling sewot adalah mertua (perempuan) dan menantu perempuan (sesuai dengan tajuk besar pada Al Falah edisi ini, ‘Konflik Mertua Menantu, Bagaimana Mengakhirinya’). Saya bukan aktivis persamaan gender.

Tapi, setelah bolak balik menelisik tiap lembar majalahnya, timbul pertanyaan berikutnya kenapa semua judul menunjuk pada menantu perempuan? Lalu kenapa tidak ada satu baris pun yang menyinggung potensi konflik mertua dan menantu laki-laki? Seperti ‘Haruskah Suami Berbakti Pada Mertua’. Apakah:

  1. Menantu laki-laki tidak harus berbakti pada mertua alias tidak mempengaruhi label kesholihan yang bersangkutan (duh, masak iya sih? Citation is needed),
  2. Mertua dan menantu laki-laki bebas konflik
  3. Mertua lebih toleran apabila konflik ditimbulkan oleh menantu laki-laki
  4. Mertua dan menantu laki-laki boleh berkonflik (yang artinya konflik antara mereka bukanlah suatu masalah yang perlu ditulis maupun dicari solusinya).

Hanya saja sejauh yang saya pahami, mertua dan menantu laki-laki sama-sama manusia yang punya peluang berkonflik walaupun mungkin prosentasenya lebih kecil. Mengacu pada pendahuluan sebuah tulisan di dalam majalah yang sama, konflik mertua dengan menantu perempuan seringkali didasari karena keduanya mencintai orang yang sama, yaitu si anak laki-laki yang punya peran baru sebagai suami.

Kalau mau adil, anak perempuan yang saat ini berperan sebagai istri harusnya mendapat cinta yang sama besar dari pasangannya dan orangtuanya. Pertanyaan berikutnya, apakah anak perempuan setelah menikah tidak lagi menjadi sumber cinta orangtua sehingga tidak ada potensi rebutan perhatian dari si anak perempuan pasca menikah? Hahaha, malah nggladrah… Semoga ada penjelasan seimbang yang disertai dalil-dalil juga. Begitulah 🙂

Kirim Paket ke eL-eN

"Diih, kirim paket ke luar negeri aja dilaporkan di blog? lebaay..." Mungkin begitulah yang ada di batin saudara-saudara setanah air Indonesia Raya (su'udzon).  Tapi ya harap dimaklumi, pengalaman pertama yang agak ruwet (baca: exciting) memang perlu dibagi, agar tidak ada orang lain yang mengalami keruwetan seperti saya.

Berawal dari teman di Nevada yang bertekad untuk selalu pakai baju batik saat ngantor, saya akhirnya ketitipan belanja baju batik sekaligus mengirimkannya ke dia.

Proses belanja baju batiknya memakan waktu berbulan-bulan bagaikan belanja satu container baju saja.  Empat potong baju batik itu masing-masing saya beli di selasar mall Ciputra Semarang, toko batik Jayakarta Semarang, ITC Surabaya, dan toko online.  Dan ternyata selain titip kepada saya, sang teman juga usaha beli via online.  Dua lembar baju yang dibeli tersebut pengiriman luar negerinya juga saya bantu karena dia merasa si ibu penjual mematok harga yang terlalu tinggi untuk jasa pengirimannya, yaitu 500 ribu melalui kantor pos.  Padahal kiriman pertama via tantenya di Solo hanya kena biaya 400 ribu.  Kedua harga tersebut berdasarkan tarip EMS (Express Mail Service) yang katanya si paket dikirim pakai pesawat terbang.

Ingin sedikit berhemat, kali ini sang teman meminta batiknya dikirim pakai RLN.  Tidak jelas RLN ini singkatan dari apa, tapi secara umum RLN adalah Jasa Pos Tercatat (registered mail) – seharusnya singkatannya jadi JPT ya?? — dan hanya melayani kiriman barang kurang dari 2 kg.  Kabarnya RLN ini pakai kapal laut, atau tongkang kalau lagi apes 😦

Sangat kemas bukan? :D
Sangat kemas bukan? 😀

Jauh-jauh hari sebelum saya kirim, si teman sudah bagi-bagi tips pembungkusan paket sebagai berikut:  Barangnya dibungkus plastik ya (biar kalau kecemplung laut batiknya tidak basah, dan tidak sampai ke rumah dia tentunya).  Sekalian diberi pelampung kali ya #eh.  Kemudian dibungkus kertas sampul coklat, ditempeli alamat, dibungkus sampul coklat lagi, ditempeli alamat lagi.  –> Untungnya tidak ada bungkus ketiga, keempat, dan seterusnya, karena kalau ini kado tentu agak-agak bikin si penerima annoyed.  Karena saya tidak ingin bungkus kertasnya tercabik-cabik, maka tiap bungkus saya buat full covered lakban bening.  Saya pintar kan 😉 #belilakbantigagulung.

Akhirnya disinilah saya, di kantor pos pusat kota Malang, ngantri kirim paket ke Amerika (whoa, kereen).  Begitu sampai di depan petugas pos saya sudah siap jawaban seperti yang diajarkan si teman.

Katakan kalau paketnya isi baju, jangan bilang itu bahan-bahan pembuat bom.  Dan kalau ditanya harga, bilang kurang dari sejuta, kalau lebih dari sejuta bakal kena pajak (kalau itu gak perlu bohong sih) #orangbaikbaik.

Dan yang pasti saya harus memilih jasa pengiriman RLN.  Eh, setelah itu malah disuruh isi formulir dulu di loket formulir.  Tau gitu dari tadi saja, gak perlu antri dua kali.  Setelah mengisi formulir dan sabar antri untuk kedua kalinya, sampai di depan petugas saya malah ditanya ,”Sudah dicatatkan di bea cukai mbak?”.  Oh wooooot, pikiran langsung melayang ke kantor bea cukai nun jauh disana.  Dengan gigih saya berargumen agar tidak perlu ke bea cukai dan yang pasti ngantri lagi.

Petugas kemudian menjelaskan kalau semua kiriman ke luar negeri harus dicatatkan di bea cukai dulu.  Yah sudahlah, tau gitu dari tadi mbaak.  Untungnya kantor bea cukai yang dimaksud masih satu kompleks dengan kantor pos (sudah sepaket kalee, hehe).  Di kantor bea cukai saya mengisi formulis rangkap tiga.  Formulir warna merah untuk arsip bea cukai, warna putih dengan stempel ‘Telah Dibukukan’ dilampirkan di paket, dan warna kuning sebagai arsip saya.

Akhirnya setelah tiga kali antri saya disodori biaya kirim 277.649 rupiah dengan penjelasan 3 minggu lagi sampai (seandainya saya bisa mengecilkan tubuh dan ikut paket itu, lumayan bisa keliling dunia).

Pengalaman berikutnya mengirimkan paket via EMS, ke teman yang sama.  Kalau ini tugasnya melanjutkan estafet pengiriman batik yang dia beli secara online di Solo.  Saya tinggal memberi label alamat, memberi bungkus kedua, dan melabel alamat lagi.

Kelihatannya bungkus ganda ini hanya perlu dilakukan untuk kiriman via EMS karena kabarnya bungkus kita akan dibongkar lagi dan diberi bungkus baru versi EMS.  Seperti penjelasan singkat beda RLN dan EMS yang saya dapatkan di sebuah blog.  Berikut informasi tersebut:

EMS

  1. Tarif lebih mahal daripada Pos Tercatat (RLN).
  2. Tarif dihitung per negara tujuan.
  3. Tarif dihitung per gram. Untuk paket standar, ukurannya 250 gram (seperempat kilogram), 500 gram (setengah kilogram) atau 1000 gram (satu kilogram).
  4. Estimasi sampai di tujuan adalah 5-7 hari kerja.
  5. Barang tidak perlu dipacking, karena nanti akan dibongkar kembali menggunakan plastic bag khusus EMS.
  6. Barang bisa diketahui / dilacak keberadaannya karena ada Tracking Number. Tracking number berfungsi hingga barang sampai di tempat tujuan dan diterima.

Pos Tercatat (RLN)

  1. Tarif lebih murah daripada EMS.
  2. Tarif dihitung per negara tujuan, tetapi kurang lebih untuk negara-negara di Asia dan Eropa bisa diperkirakan, tarifnya sama.
  3. Estimasi sampai di tujuan adalah 15 hari kerja (paling cepat), bisa 2 bulan (paling lambat) atau hilang (kalau apes), hehe.
  4. Barang perlu dipacking rapi, diberi nama, alamat dan nomer telpon jelas.
  5. Ada tracking number, tetapi hanya bisa dilacak sampai Jakarta saja. Sebenarnya bisa dilacak hinggak ke tujuan dengan tracking number itu (TN), tetapi bukan melalui website Pos Indonesia melainkan melalui website pihak ketiga.
Sebagai tambahan informasi, keberadaan EMS bisa kita lacak melalui http://www.posindonesia.co.id/ dengan memasukkan tracking number yang tertera pada resi kiriman kita.

img_20170211_081646
Formulir EMS

Nah, karena ini pengalaman kedua, saya sudah lebih pintar.  Begitu parkir langsung menuju kantor bea cukai sebelah kantor pos.  Sedangkan formulir EMS-nya bisa kita dapatkan di meja petugas pos.  Dengan berat 704 gram, paket kedua ini kena biaya kirim sebesar 395 ribu rupiah dengan keterangan kurang lebih seminggu lagi sampai tujuan.

Sebagai informasi, kalau ingin memperkirakan biaya kirim paket kita, bisa melalui http://www.posindonesia.co.id/tnt/?ii=tarif-kiriman.  Pokoknya kantor pos sekarang sudah keren dan canggih.  Dengan catatan jasa ini hanya ada di kantor pos besar yang hanya ada satu di tiap kota/kabupaten.

img_20170211_081922
Seandainya bisa nunut berangkat… 😦

Demikianlah, saat ini saya dan si teman harap-harap cemas menunggu paket tiba.  Tadinya pengalaman ini akan dibagi setelah paketnya sampai tujuan.  Tapi, iya kalau sampai, kalau ndak? 😀

Donato Eksperimento

Hari ini si kecil tidak sekolah karena batuk.  Mungkin dipicu cuaca yang kurang bersahabat akhir-akhir ini.  Selain itu kelihatannya dia sedang ingin bermalas-malasan di rumah.  Kombinasi yang ideal untuk tidak masuk sekolah.  Nah, sebagai ibu yang baik, tentu saja saya ikut-ikutan absen ke kampus, menemani si kecil tiduran di rumah #heavenly.

Bangun menjelang pukul 8.00 pagi saya jadi keidean bikin donat.  Donat? Iya donaaat.  Ini gara-gara seorang sepupu di grup whatsapp keluarga melakukan kampanye membuat donat.  Kabarnya donat adalah kue yang mudah dibuat, antigagal.  Cocok buat saya yang takut gagal, terutama gagal move on #curcol.

Hampir semua saudara perempuan di grup sudah tertulari virus bikin donat.  Mereka juga pamer foto-foto narsis bareng donat produksi sendiri.  Apalagi konon resep donat sepupu saya ini hasil menyadap resep donat ®Jco.  Huhuhu… saya iriiiii… mereka bisa bikin donat, masak saya enggak #meweksambilsalto.

Hingga kemudian beberapa bulan yang lalu pada suatu hari saya mampir ke toko bahan kue di dekat rumah.  Sehingga lebih jelasnya bahan donat itu sudah menghuni lemari dapur selama berbulan-bulan #sigh.  Hingga datanglah kesempatan dan tentunya yang lebih penting semangat disertai niat menggebu untuk bikin donat, yaitu hari iniiiii #lompatjongkoklimakali.

Setelah sholat minta petunjuk dan push-up sepuluh kali saya siap fisik dan mental (bohong ini sih).  Saya akan menjalani hal terpenting dalam hidup saya, yaitu pertama kalinya membuat donat.  Bismillah.

Langkah pertama, menyiapkan contekan resep dari sepupu saya sebagai berikut:

1 kg tepung cakra

500 ml air

100 g gula pasir

100 g margarin

1 sachet fermipan

4 kuning telur

2 sdm bakerbonus

2 sdm susu fullcream

Langkah kedua.  Setelah semua bahan ditakar sesuai standar operasional procedure, dilanjutkan dengan:

  1. Menyiapkan baskom besar (besarnya menyesuaikan ya, jangan terlalu besar nanti dikira mau ngerendem cucian), lalu semua bahan dicampur kecuali tepung dan margarin  (gampaang, sambil merem juga bisa #sombong).
  2. Memasukkan terigu sedikit demi sedikit sampai separuh kemudian margarin sambil memasukkan terigu sampai habis dan meremas-remas adonan sampai kalis.

Apakah kalis itu? menurut yang saya dapatkan dari internet:

adjective

1. suci; bersih; murni: bayi yg — dr dosa jangan dibawa-bawa; 2 a tidak berkilat atau bersinar krn tersaput sesuatu (tt kaca, barang logam, dsb): kaca itu — sebab terkena air; 3 a tidak dapat kena air atau tidak dapat basah (spt daun keladi): daun keladi bersifat –; 4 a tidak dapat kena penyakit; kebal (dr penyakit): sejak kecil anak saya ini — dr penyakit; 5 v terhindar (dr bahaya);
 air tidak dapat dimasuki (diresapi) air; kedap air: got yg belum kering itu — air; — gas tidak dapat dimasuki gas (udara); kedap udara; kalis udara; — jais tidak dapat diberi nasihat, ajaran, dsb: morfinis itu sudah — jais; — udara kalis gas

Aaargh… pasti bukan iniiih.  Mau nanya saudara kok gengsi, akhirnya browsing lagi.

Akhirnya ketemulah ciri-ciri adonan kalis, yaitu:

  1. Adonan telah mengaret dan elastis bila ditarik.
  2. Bila dilihat adonan telah mengkilat.
  3. Bila direntangkan adonan akan tipis rata dan tidak mudah robek.

Berbekal informasi tersebut, bekerja keraslah saya menguleni adonan supaya kalis.

Sampai disini masalah timbul.  Kenapa setelah sekilo tepung masuk adonan masih lengket di tangan ya? Teksturnya masih basah.

Dilanda bingung, saya memiliki 3 pilihan (1) fifty-fifty (lanjutkan atau berhenti), (2) ask the audience, (2) phone a friend.

Pilihan kesatu saya abaikan karena sudah terlanjur basah bikin donat.  Sebetulnya lebih tepat ‘terlanjur lengket’ kena adonan.  Pilihan kedua juga membuat saya ragu karena di rumah ini hanya ada dua audience, yaitu anak kelas 3 SD yang sedang asyik nonton VLOG di tab-nya dan seekor kucing pemalas yang hanya bangun kalau mendengar saya membuka kaleng makanannya.  Tidak ada pilihan lain kecuali pilihan ketiga, yaitu phone a friend.  Adegan berikutnya tampaklah saya sedang curhat semi panik ke sepupu saya di seberang telepon.  Saran yang saya dapatkan setelah dia memastikan bahwa resep saya sesuai hukum yang berlaku yaitu ,”Tambahi lagi tepungnya dik”.  Haah?! Ok, untung saja masih ada stok tepung sekilo.

Setelah hampir satu jam berjibaku menguleni adonan, disertai tetesan keringat yang membuat donat saya dijamin lebih gurih, membanting-banting adonan pakai jurus pendekar mabok, dan tercampur hampir dua kilo tepung akhirnya adonan kalis juga (Gak salah nih hampir dua kilo tepung? Sayangnya enggak....) #introspeksidiri.

Ternyata lamanya menguleni ini membawa masalah baru.  Adonan menjadi terlanjur mengembang/terfermentasi.  Cirinya bagian dalam kalau dibuka tampak berserat.  Halaah, maju terus pantang mundur.  Artinya adonan tidak perlu lagi ditutup serbet agar mengembang.  Dengan harap-harap cemas saya bagi adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar bola ping-pong (atau lebih besar agar adonan cepat habis).  Sempat ganti metode pas bikin bulatan-bulatan.  Saya pakai mulut gelas untuk mencetak donat agar ukurannya sama.  Tapi ternyata bukan soal ukuran, karena antrian terakhir pasti sudah lebih berongga dan mudah membesar saat digoreng.

img_20170207_112804
Berdesakan di wajan kecil 😦

Penggorengan dan minyak goreng disiapkan dan kompor dinyalakan.  Pada tahap ini saya berpacu dengan waktu karena semakin lama proses berjalan maka adonan akan semakin mengembang.  Secara keseluruhan sebelum digoreng donat saya mengalami tiga kali kesempatan berfermentasi, yaitu saat kelamaan diuleni, saat antri akan digoreng, dan saat digoreng.  Yah begitulah, saat digoreng donat saya membesar memenuhi wajan sehingga saya harus ganti wajan yang lebih lebar.

Akhirnya perjuangan dari pukul 9.00 hingga pukul 11.00 berbuah manis.  Eh, maksud saya berbuah donat.  Hmm… kurang tepat juga ya, donat bukan buah.  Ah, sudahlah.

Donat pertama menampakkan warnanya yang kuning kecoklatan seakan menyapa saya dengan senyum terkembang (iyalah donatnya menjadi sangat gendut, baca: mengembang).

img_20170207_112210
Taraaa… donat pertamaku, cantik kaan 😉

Pegalnya tangan yang rasanya hampir kram terbayar sudah.  Dari resep diatas, dengan hampir dua kilo tepung, dihasilkan 30 buah donat yang gendut-gendut (ups, donat bukan buah ya).  Demikianlah, anak-anak, maafkan ibu ya, untuk beberapa hari ke depan kita akan makan donat pagi siang malam.  Hihihi…

101 Tahun Kota Malang

Tanggal 1 April ini Malang ulang tahun ke-101. Jadi ingat Dalmatians ya. Selain ingat si guk-guk lucu bertotol-totol kayak moly totol itu, saya juga jadi ingat pertama kali saya tinggal di Malang.

Tret tet teeet, pelajaran sejarah mulai…

Sejak masih SMP di Pasuruan, saya sudah ingin melanjutkan SMA di Malang yang saat itu sudah kondang sebagai salah satu kota pendidikan terbaik di Jawa Timur. Tapi keinginan tinggal di Malang baru dapat terlaksana setelah lulus SMA di Pangkalpinang. Saat itu, bergegaslah saya mengontak seorang sahabat yang sudah lebih dulu tinggal di Malang. Kami kos bareng di Ciamis 11 saat saya ikut bimbingan belajar selama sebulan di Teknos pojokan jl.Bandung. Saat mengisi jurusan UMPTN juga milihnya UB, dengan harapan utama, saya bisa kuliah di kota ini. Eh, ndak ding. Dari 3 pilihan jurusan (ikut IPC, ilmu pengetahuan campuran – btw, hanya di Indonesia ada ilmu campur selain es campur), pilihan pertama saya Biologi UI, kedua Biologi UB, dan ketiga Hukum UB. Alasan memilih pilihan ketiga ini sangat geje, hanya karena ngiler melihat gedungnya yang baru, hehehe. Saya bahkan sudah mendaftar di Planologi ITN sebagai cadangan. Ternyata pada saat pengumuman UMPTN, Tuhan belum mengijinkan saya tinggal di kota ini hingga terdamparlah saya di kota Depok karena diterima di UI. Dengan diiringi isak tangis teman dan sahabat karena kesedihan mendalam berpisah dengan saya (ndak GR loh), saya meninggalkan Malang. Sementara itu barang-barang dari kos-an dipaket via Kantor Pos. Ini gara-gara kepedean bakal tinggal disini, semua pakaian dan buku sudah saya boyong ke sini. Untung saja kosnya tidak dibayar untuk setahun.  Hihi…

Akhirnya bertahun-tahun kemudian, cita-citata menetap di Malang terwujud pada tahun 1998. Ya, setelah lulus kuliah dan menikah saya dan suami memilih tinggal di Malang. Bukan karena pekerjaan saya atau suami, tapi murni karena ingin tinggal disini. Sekarang, mengingat pekerjaan kami, rasanya sampai nenek-nenek pun saya akan tetap tinggal di Malang. InsyaAllah. Benar bahwa ada beberapa cara Allah mengabulkan doa hambaNya. Diantaranya dengan menundanya. Tidak perlu dicari-cari alasan Allah menunda. Buat saya hal ini menjadikan nikmat dan syukur terasa lebih dalam. Alhamdulillah.

Sekarang, setelah kurang lebih 18 tahun alias 216 bulan alias 6480 hari tinggal di Malang – dikorting tugas-tugas luar kota – membuat saya semakin yakin dengan pilihan saya dulu. Malang airnya bersih, tidak banyak nyamuk, pemandangan indah, udara sejuk, kualitas pendidikan bagus, banyak pilihan tempat wisata (gunung, laut, kuliner, tempat hiburan), harga bahan pokok murah, lalu lintas lancar, aman, bebas banjir, kehidupan beragama juga kondusif. Ada lagi yang penting, yaitu saat melihat kemacetan luar biasa sepanjang jalan menuju Malang-Batu di saat liburan, baik itu libur akhir pekan apalagi libur anak sekolah. Saya sangat bersyukur berada di arah jalan yang berlawanan alias gak kena maceet 😀

Di usia 101 tahun ini, semoga Malang semakin maju dan tetap aman, hijau, indah seperti sekarang. I love Malang ❤

Mmuaach... <3
Mmuaach… ❤ 😉

Kepo As A Science

Recently, we know the term KEPO which stands for Knowing Every Particular Object.  It has same meaning with “kaypoh” in Singlish (singapore English).  Kepo defines a condition when a person is wanna know about everything or very curious people.

Moreover, we also know that science is simply the word we use to describe a method of organizing our curiosity.  So, the connectivity between KEPO and Science could be named as ‘Kepologia’ (logi as logos, science in Greek).  I know a blog which is used this name.  When you want to learn more about ‘how to kepo correctly, safely, and carefully’ or ‘how to organize your desire to kepo’, just visit my colleague here.  If you find any inappropriate contents there, that is not my responsibility.

Enjoy your kepo 😀

Karakter Berdasarkan Warna Favorit

Setelah iseng mengamati tipe pengguna twitter, kali ini saya mengamati karakter seseorang berdasarkan warna favoritnya.  Kalau ini gara-gara ada teman saya yang suka luar biasa dengan warna hijau.  Walaupun tas favoritnya berwarna pink, tapi isi tasnya tetaplah segala sesuatu yang berwarna hijau (ngarang ini sih :P).

Entah benar entah tidak, artikel ini sudah melalui kajian seorang konsultan psikologi yang tidak ternama.  Silahkan disimak, siapa tahu cocok sehingga bisa dilanjut (eh, maksud???).

Karakter berdasarkan Warna favorit

Warna Favorit Hitam
Orang yang suka warna hitam adalah orang yang cuek dan tidak memikirkan omongan orang terhadap dirinya. Baginya asal dia nyaman dia akan melakukan apapun yang mereka suka. Dalam pergaulan mereka cukup enak diajak berteman karena dapat memberikan solusi dalam masalah teman-temannya.

Warna Favorit Putih
Penyuka warna putih adalah tipe orang yang tulus dalam segala hal dan mereka paling tidak suka kalau dibohongi dan bagi mereka kejujuran adalah nomor satu. Selain itu mereka biasanya agak tertutup, mereka hanya punya sedikit teman dekat yang bisa mereka ajak curhat, tapi mereka akan jadi tempat curhat yang baik bagi seluruh temannya.

Warna Favorit Kuning
Pada dasarnya orang yang menyukai warna cerah ini memiliki sifat riang, optimis dan ceria. Kalau ada sesuatu yang salah pada dirinya, ia akan berusaha merubahnya secepat mungkin. Rasa ingin tahunya juga besar, sebesar spontanitas yang dimilikinya.

Warna Favorit Merah
Penyuka warna merah menginginkan kesenangan dan suka menikmati hidup yang ada. Di lain pihak, ia mudah sekali merasa bosan karena itu si merah paling suka menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat. Garis besarnya, penyuka warna merah adalah orang yang memiliki antusias dan semangat hidup yang tinggi.

Warna Favorit Abu-abu
Ia yang menyukai warna abu-abu adalah tipe orang yang cenderung menarik diri dari perhatian orang, dan tidak suka kegiatan aktif secara langsung. Karena sifatnya yang ragu-ragu, maka ia sering memutuskan sesuatu hingga saat-saat terakhir.

Warna Favorit Pink/ Merah Muda
Penggemar warna pink adalah orang yang sensitif, ramah dan memiliki kepribadian yang manis. Ia sangat menyukai masa kanak-kanak yang menyenangkan dan menginginkan kehidupan yang romantis.

Warna Favorit Coklat
Penyuka warna coklat memiliki sifat yang membumi atau tidak dibuat-buat. Ia adalah teman yang dapat diharapkan dan sangat loyal. Rumah dan keluarga merupakan hal terpenting baginya, dan tentu saja kenyamanan adalah faktor utama dalam hidupnya.

Warna Favorit Hijau
Penggemar warna hijau adalah tipe orang yang mendambakan perasaan aman dan ingin menciptakan dunia yang lebih baik bagi sesama. Ia juga memiliki sifat bijaksana dalam mengatur waktu dan tujuan hidup. Namun kalau sudah menyangkut ke masalah-masalah penting, penyuka warna hijau ini bisa bersikap kaku.

Warna Favorit Ungu
Pencinta warna ungu adalah seorang negosiator yang punya keinginan kuat untuk menyenangkan diri dan orang lain. Walaupun umumnya disukai orang, ia tidak mudah bersikap terbuka dan suka menikmati suasana yang sedikit misterius.

Warna Favorit Oranye
Ia yang menyenangi warna ini adalah orang yang terbuka, dinamis dan menyenangkan untuk dijadikan teman. Secara alami, ia memiliki sifat flamboyan atau tidak membosankan, jadi tidak masalah baginya untuk tampil berbeda. Ia juga mempunyai selera yang bagus pada hidup dan makanan.

Warna Favorit Biru
Penggemar warna biru adalah tipe orang yang tenang, teratur dan dapat dipercaya. Ia juga sangat menghargai loyalitas pada sesama. Beberapa jenis warna biru memiliki karakter yang berbeda. Biru langit mewakili tipe orang yang menyukai kesenangan dan hidup santai, sedangkan biru navy (biru langit di malam hari) menggambarkan sifat serius dan konservatif.

8 Tipe Pengguna Twitter Berdasarkan Karakter, Kamu ?

Kata Pengantar

Namanya juga intermeso alias selingan ringan yang bisa disamakan dengan camilan, jadi isinya hal-hal yang membuat otak beristirahat sejenak.  Boleh tersenyum kalau mau.  Yang bete ndak usah baca deh, kuatir level betenya naik kalau merasa tidak cocok dengan uraian berikut.

Artikel ini asli copy lalu paste dari http://www.beritaunik.net semata-mata karena secara tidak sengaja saya -sekilas- mengamati bagaimana pengguna twitter mengapdet statusnya. Anyhow, tidak ada yang salah dengan mempunyai karakter seperti dalam artikel berikut.

Selamat menyamakan diri 🙂

Sebagai situs jejaring sosial, Twitter tergolong unik. Dengan fitur yang bisa dibilang hanya teks semata, jejaring sosial karya Jack Dorsey ini sukses menjadi salah satu jejaring sosial favorit.

Sebagai jejaring sosial yang bisa juga disebut SMS-nya dunia maya, ada sejumlah tipe pengguna Twitter. Secara umum, pembagian tipe ini bisa dilihat berdasarkan sebagian besar tweet yang dituliskan.

Berikut merupakan delapan tipe pengguna Twitter berdasarkan karakter kepribadian, seperti dikutip dari Macobserver:

1. Penghibur
Tipe ini dikaruniai kemampuan dan pesona untuk memikat orang dalam komunikasi singkat, yang tentu saja terbatas dalam 140 karakter. Para penghibur di twitterland ini akan membuat Anda tersenyum, hanya dengan membaca tweet-nya atau ketika mengomentari dan menanggapi tweet orang lain.

2. Penyampai kabar

Tipe ini sepertinya tidak punya kebutuhan untuk menghibur orang lain, melainkan merasa butuh untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Pengguna twitter dengan tipe ini akan mengumpulkan informasi dan membaginya untuk kepentingan orang lain. Baik itu dalam bentuk tautan video atau berita.

3. Tour Guide
Biasanya, tipe orang seperti ini adalah yang berbagi pengalaman. Tipe ini seperti ‘mengajak’ Anda di setiap pengalaman yang dia rasakan. Tak hanya itu, link foto pun akan terpasang di tweet, sehingga Anda bisa melihat langsung, dari pemandangan yang dia lihat hingga makanan yang sedang dia nikmati.

4. Penurut
Tipe ini biasanya akan menurut untuk mengisi tweet dengan pertanyaan standar ala Twitter, “what’s happening?”. Dan.. tipe ini akan menjawab dengan segala macam yang sedang dia kerjakan. Dari menyiapkan makan malam, hingga menggunting kuku. Tentu tipe seperti ini membosankan, kecuali dia menjawabnya juga dengan candaan ala tipe penghibur.

5. Promosi Diri
Tipe seperti ini biasanya merupakan penulis yang berpikir Anda mem-follow dia karena Anda ingin tahu mengenai karyanya. Jadi dia akan bercerita di tweet-nya segala sesuatu tentang yang dia lakukan dalam berkarya. Ini semua dilakukan hanya untuk mempromosikan dirinya sendiri.

6. Pemarah
Di tweet-nya, tipe seperti ini selalu marah terhadap sesuatu. Dari kejadian sepele yang dialaminya di dunia maya, apalagi kejadian besar yang dialaminya di dunia nyata. Tak jarang dalam tweet-nya, tipe ini menggunakan huruf kapital. Entah kenapa, tetap saja ada followers yang mengikutinya. Mungkin followers tipe ini memiliki ketidaksukaan yang sama, tapi tidak berani untuk mengungkapkan, misalnya untuk marah-marah soal pekerjaan.

7. Manja
Biasanya tipe ini selalu memanfaatkan Twitter untuk menjawab kebutuhannya. Misalnya: “Saya lagi di Yogya nih. Apa ada rekomendasi makanan enak di sini?” Bahkan, tipe seperti ini biasanya juga ‘pamer’ walau tweet-nya seperti orang yang selalu merasa butuh pertimbangan Anda. Misalnya dengan tweet seperti: “Duh, bingung. Mau liburan ke Australia atau Jepang yah?” Bukan tak mungkin juga orang tipe ini yang merasa tidak pernah percaya diri dengan keputusan yang dia buat, dan selalu butuh (needy) pertimbangan orang lain.

8. Seleb-twit
Tipe ini tahu kalau Twitter merupakan cara yang paling terbaru dan terkeren untuk berinteraksi dengan fans. Biasanya, tipe ini juga senang dipuja oleh followers-nya (sering re-tweet hal-hal bagus yang ditujukan kepadanya). Tapi bagaimanapun, selebriti juga orang biasa. Mereka sering pula menjadi tipe promosi diri, pemarah, atau manja. Namun, tentu dengan pertimbangan tak ingin tweet yang dibuat akan merusak citranya.

Kamu yang mana ? 🙂

Kwkwkwkwkw 😀

Dialog Tanpa Judul

Pernah tahu tidak, bagaimana dua orang yang pernah dekat, lalu lama tidak kontak, terus telponan dan bingung bagaimana mesti bersikap. Di telpon, mereka bicara seperti orang tolol yang sedang buang-buang waktu.

Keterangan:

Teks di dalam kurung = kata hati

Teks dengan bold = kata dalang.

Jadinya seperti ini,

Diawali SMS-an:

B: Boleh nelpon? Kalau sudah ga sibuk kasitau ya.

A: Aku aja yang nelpon. Sekarang ok-kah?

B: Bentar ya. (eeh… jangan sekarang, perlu waktu lima menit untuk konsentrasi dan ngatur napas)

Lima menit kemudian.

B: [texting] Ok

Setelah 15 menit jeda dan diisi dengan baca doa-doa apa saja mohon ketenangan hati, layar telpon pun memunculkan sederet nomor.

A: Apa kabar?

B: Baik, sangat baik. Kamu?

(Tidak tahukah kamu, setelah kamu pergi, aku hidup nyaris tanpa hati, yang waktu itu kamu bawa bersamamu. Mau ikut program ganti hati ndak punya biaya. Belum lagi risikonya kalau hati pendonor nanti juga tidak lengkap lagi)

A: Aku juga baik.

(Walaupun tiap mengingatmu kedengarannya seperti band Minus One)

Sepi. Hanya terdengar desah napas panjang yang mengindikasikan bahwa keduanya belum pingsan. Tapi kalau kalian lihat di masing-masing TKP, mereka sama-sama cengar-cengir kuda, kadang gigit bibir, dan bingung nyari topik yang ‘aman’.

B: Sering datang ke sini ndak?

A: Sering juga sih, malah lebih sering daripada dulu.

(B: Dia ga ngasih kabar. Hmm, aku mesti jaga jarak nih. Gak mau kejengkang lagi / A: Sebetulnya pengen kontak, tapi sebaiknya tidak. Yang baik pasti benar, eh tidak yakin juga. Tapi aku harus hati-hati, siapa tahu ini jebakan betmen, modus pemerasan mungkin) *lebay*

A: Kerjaanku… (bla bla bla)

B: Wah seru ya…

(mendengarkan dengan seksama seperti reporter sedang interview sambil mbatin, hmm… suaranya tidak berubah, terus ngomong dong)

Percakapan berlanjut. Dan setelah beberapa topik,

A: Tau tidak, kalau kecerdasan anak itu didapat dari ibunya. Pernah test IQ?

B: Pernah sih.

A: IQ-mu berapa?

B: (ngaku gak ya? Haduh, galau nih) Err… 110 lebih gitu deh. (padahal lebihannya cuma nol koma nol nol nol sekian)

A: Ya, alat uji IQ memang macam-macam sih. Aku sendiri gak pernah test IQ, takut ketauan kalau IQ jongkok, hahaha…

B: Hahaha, iya, mending ndak tau ya.

(Iih?! Kok jongkok sih, lah kalau kamu jongkok trus aku pas-pasan, gimana anak kita nanti?) *lupa kalau tidak sedang syuting sinetron*

Semuanya lancar, tapi terasa seperti interlude. Kemudian…

B: Ga tau kenapa ya, aku tu gak cocok nanem-nanem. Mending piara kucing deh.

A: Mmmpppphhh… (suara orang ketawa tertahan)

(Huaa, kucing yang kamu kasi nama mirip aku itu kan? Syukur deh masih kamu piara, aku kuatirnya kucing itu sudah kamu lempar jadi penghuni pasar)

Topik kucing ini berlanjut menjadi ‘bagaimana kucing pup’, ‘peluang bisnis pasir kucing’, dan ‘ciri-ciri kucing alfa kalau lagi pup’. Topik yang sangat tidak elegan dan tidak memberi kesan bahwa mereka saling merindukan. Tapi menurut analisa penulis, ini mungkin indikasi ngulur layangan eh, ngulur waktu.

B: Kamu bicaranya kenceng banget?

(Jangan-jangan sebelahan sama anak buah di kantor, makanya dari tadi topiknya resmi pakai stempel perusahaan)

A: Iya, semangat… hehehe

(Alamaak, ini kan gue nutupin grogi sekalian pitch control, biar suaranya ga gemeteran dan ga fals, gitu kata mbak Bertha guru musiknya AFI)

A: Kamu masih sering nulis blog ya?

B: Hah?! kok tahu? Kamu masih baca blogku ya?

(Pura-pura kaget. Tahu ndak, ini cara aku komunikasi denganmu, agar kamu tahu aku dimana, sedang apa, merasa bagaimana, karena aku tahu kamu akan baca) *terharu sampai nyaris mewek*

A: Yaah, kadang-kadang sih. (=sering?)

B: Sekolahku sekarang gini (bla bla bla), doain aku ya.

A: Aku selalu err… ya berdoa, err… buatmu.

B: Spesifik ndak?

(Pengen tau pakai banget ni, kalau perlu sampai ke teks doanya)

A: Ya, aku sebut namamu dalam doaku. (Yakin ni bukan nyadur teks lagu?)

A: Makasih ya.

B: Katamu tidak ada yang perlu dimaafkan maupun diterimakasihkan.

(Padahal buanyaaaaaaak)

A: Hahaha, iya sih. Tapi memang harus begitu.

B: Yaya, ok. Aku juga makasih.

(Haduuh, sebentar banget sih telponannya)

A: Udah dulu ya, belum sholat nih.

(Seandainya lagi di luar kota, kan bisa dijamak)

B: Iya, aku juga.

A: Bye.

B: Bye.

Setelah satu setengah jam, di masing-masing TKP keduanya nutup telpon, ngambil napas dalam dan panjang lalu dihembuskan pelan-pelan lewat mulut untuk mengurangi rasa sakit saat his datang (Loh? Ada yang mau lairan ya?). Keduanya duduk bengong agak lama sambil memandangi layar telpon yang sudah gelap. Siapa tau tiba-tiba keluar uang seratus ribuan dari situ. Don’t wanna miss those moment kaan 😉

Starring on the off-screen, waiting for a miracle...
Starring on the off-screen, waiting for a miracle…

Percakapan ini ditulis berdasarkan kisah nyata dengan beberapa modifikasi di sana-sini (banyakan modifikasinya sih, biar dapat efek dramatis) 😀

Saya dan Lontong Cap Go Meh

Sejak beberapa tahun lalu, di setiap penghujung Ramadhan atau awal Syawal, saya sempatkan membuat lontong cap go meh favorit papa (alm) sebagai menu wajib lebaran saat keluarga besar ngumpul. Anggota keluarga besar yang tercatat dalam buku induk saat ini adalah kami berenambelas yaitu mama, lima anak, tiga menantu, tujuh cucu.

Lontong cap go meh ala saya minimalis saja karena saya tidak mau terpaku di dapur, ngeman kegiatan Ramadhan yang lain. Hidangannya terdiri dari:

  1. Lontong. Iyalaah. Ini cukup pesan pada pedagang lontong langganan yang di Pasar Bunul dekat rumah. Lontongnya padat, mantap, dan harganya terjangkau @1000 rupiah. Untuk kami berenambelas, saya pesan 25 buah lontong.
  2. Opor ayam dengan 20 potong ayam.
  3. Telur bumbu petis. Petisnya tidak boleh petis yang KW1 saja, tapi mesti campur 1:3 dengan petis KW3 supaya rasanya tidak pahit. Untuk ini 20 butir telur cukuplah.
  4. Sambal goreng rebung. Kalau pas tidak ada rebung bisa diganti pepaya muda atau labu siam. Pilih rebung atau labu yang sudah dirajang ya, karena urusan rajang-merajang ini sangat makan waktu.
  5. Pelengkap: bawang goreng dan bubuk kedelai beli yang sudah siap pakai.
  6. Krupuk udang.

Sudah. Memasaknya saya cicil 2 hari.

Hari pertama:

Belanja, menggoreng krupuk, menyiapkan bumbu, 3 jam.

Hari kedua:

Membuat opor ayam, telur bumbu petis, dan sambal goreng rebung, mengambil pesanan lontong, 3 jam.

Hari ketiga:

Menghangatkan masakan, lalu…

Selamat makan 🙂

(Maaf, tidak sempat didokumentasikan, sudah keburu licin tandas 😀 )

10 Reasons To Date A (Biological) Scientist

  1. First of all, doesn’t “I’m dating a scientist” sound impressive?
  2. They’re honest. And straight forward. And logic. Because that’s what they’re trained to be during a scientific writing sessions.
  3. You’ll never run out of things to talk about. Just ask your date a “why” question. He/she will likely know the long answer (and if they don’t know, they will find out).
  4. And they talk based on data (and don’t you know? They’re a good spy when it comes to collecting the data).
  5. Scientists do meticulous, time-consuming tests and experiments. This attention to details – and incredible patience – will serve your relationship well.
  6. You will know what’s scientifically inaccurate in your favourite sci-fi show. That’s a cool way to impress your friends.
  7. You’ll likely win a trivia night if you’re on the same team (and sometimes it means a big money).
  8. Access to dry ice and other cool chemical things. Best. Party. Ever.
  9. Hygiene. Scientists wash their hands before and after everything.
  10. And…finally, three words : Nerd Is Cool.

(From “15 reasons to date a scientist” by eHarmony, with some modifications.  Well, don’t take it too seriously 😛 )

Am I nerd?
Am I nerd?

Ngulik PicFrame

Saya sedang keranjingan PicFrame, salah satu aplikasi fotografi yang bisa dengan mudah diunduh di PlayStore dari handphone berbasis android.  Tapi sayang, setelah diedit resolusi fotonya jadi turun, jadi blur 😦

Tapi gak papa-lah, iseng inih…

Dan berikut ini beberapa hasilnya:

Ini maunya Charlie and His Angels.  Charlie's Angels ala FASE389 :D
Ini maunya Charlie and His Angels. Charlie’s Angels ala FASE389 😀

Jangan diganggu, sedang super serius *nyengir*
Jangan diganggu, sedang super serius *nyengir*

Dibuang sayang... :)
Dibuang sayang… 🙂

Trio Detektif Gagal
Trio Detektif Gagal

Teman saya yang mirip kucing.  Untung miripnya bukan dengan kucing kampuuung... :P
Teman saya yang mirip kucing. Perhatikan tatapan matanya, mirip banget kan? Untung miripnya bukan dengan kucing kampuuung… 😛

Dan... ini dia juaranya :D
Dan… ini dia juaranya, saya dan mas Nunu 😀

Demikianlah, semoga tidak ada yang tersinggung dengan keisengan saya 😉